Penulis
Intisari-Online.com -Banjir di DKI ibarat pencuri, datang sewaktu-waktu tanpa permisi. Hujan ataupun tidak sama saja, sebagian warga ibukota mesti selalu waspada. Kenapa begitu? Banyak penyebabnya. Wartawan Intisari, Al. Heru Kustara dan A. Hery Suyono mencoba membeberkan persoalannya.--
Dulu yang namanya Jakarta, semasa masih berjuluk Batavia, hanya meliputi wilayah di dekat muara Kali Ciliwung. Tapi sekarang, seiring dengan perluasan wilayah kota (ke Barat, Timur dan Selatan) dan perkembangan jumlah penghuni dan penduduk dari segala pelosok tanah air, luas Jakarta sudah membengkak jadi berapa kilometer persegi? Berapa pula jadinya jumlah sungai yang masuk menjadi bagian dari kawasannya?
Menurut catatan yang ada, kali besar dan kecil yang memotong wilayah ibu kota yang luasnya 637,33 km2itu sekarang ini ada 13 buah. Kecuali K. Sekretaris dan K. Cideng, semuanya berhulu di dataran tinggi di Provinsi Jawa Barat, macam K. Mookervart, K. Angke, K. Pesanggrahan, K. Grogol, K. Krukut, K. Ciliwung, K. Cipinang, K. Sunter, K. Buaran, dan K. Cakung.
Wajar 'kan kalau Jakarta lalu menjadi rawan oleh ancaman banjir? Keniscayaan itu baru dari sisi banyaknya sungai dan anak-anaknya. Belum lagi mengingat kenyataan bahwa topografi kawasan Jakarta memang menempati wilayah yang ceper, rata, atau berupa dataran rendah.
Ciri alami Kota Jakarta dengan banyaknya sungai yang mengalir, topografi yang berupa dataran rendah dan kawasan pantai dengan pasang surut air lautnya, ditambah lagi curah hujan yang tinggi (1.750 - 2.500 mm per tahun) itu, memang sudah darisononye,orang Betawi bilang. Itu semua menyodorkan potensi kerawanan banjir di sejumlah lokasi. Kawasan yang sudah rawan banjir itu lalu diperbesar lagi kerawanannya oleh ulah manusia penghuninya.
Sejalan dengan gerak cepatnya kemajuan di segala sisi kehidupan, masyarakat Kota Jakarta membutuhkan lahan. Entah itu untuk perkantoran, permukiman, pembangunan prasarana jalan dan sebagainya, yang semuanya merupakan suatu bentuk pelapisan dengan sesuatu bahan yang sifatnya tidak tembus air hujan. Itu semua menyebabkan berkurangnya fungsi tanah sebagai resapan air atau daerah imbuh air (recharge area).
Artinya, setiap hujan yang jatuh di kawasan itu (biasa disebut hujan lokal) sebagian besar tidak meresap ke dalam tanah, tetapi mengalir sebagai limpasan (runoff),dan akan mengisi dan memperbesar debit saluran atau aliran sungai. Belum lagi adanya bangunan atau gubuk liar di bantaran yang menjorok ke sungai, akan mengurangi kapasitas sungai.
Namun, dalam perjalanannya sebelum masuk ke saluran drainase, sungai-sungai, dan akhirnya masuk ke laut, limpasan itu akan menggenangi jalan-jalan lebih dulu. Kalau alirannya lancar, tidak terlalu menjadi soal. Kalau terhambat lumpur atau kotoran lainnya sebelum masuk saluran di tepi jalan, genangan akan lama surutnya. Akibatnya, jalanan jadi macet, apalagi kalau air genangan sudah mencapai 20 - 40 cm dalamnya. Kalau sudah begini, para tukang dorong kendaraan bermotor pun ketiban rezeki.
(Bersambung)