Find Us On Social Media :

Lorong Masa: Sejak Lahir Jakarta Bergelut dengan Banjir (4)

By Birgitta Ajeng, Selasa, 27 Agustus 2013 | 14:00 WIB

Lorong Masa: Sejak Lahir Jakarta Bergelut dengan Banjir (4)

Intisari-Online.com - Banjir di DKI ibarat pencuri, datang sewaktu-waktu tanpa permisi. Hujan ataupun tidak sama saja, sebagian warga ibukota mesti selalu waspada. Kenapa begitu? Banyak penyebabnya. Wartawan Intisari, Al. Heru Kustara dan A. Hery Suyono mencoba membeberkan persoalannya.--

Supaya air bisa mengalir, perlu dibuatkan semacam waduk penampung air. Air yang sudah mengumpul di waduk, yang letaknya lebih rendah dari permukaan air laut, kemudian dipompa dan dialirkan ke Banjir Kanal atau langsung ke laut. Sistem membuang air dari daerah yang lebih rendah dengan pompa ini disebut sistem polder (polder system) dengan instalasi rumah pompa yang memadai.Di Jakarta sendiri terdapat 15 waduk lengkap dengan pompa air yang sekaligus berfungsi sebagai polder antara lain, Waduk Pluit, Waduk Tomang Barat, Waduk Grogol, Waduk Rawagepah, pompa Pondok Bandung, instalasi pompa K. Cideng, Waduk Setiabudi Barat dan Timur, Waduk Melati, pompa Mangga Dua Utara, sistem polder di kompleks istana, dan Iain-lain.Pompa Cideng yang terdiri atas enam pompa dan masing-masing berkapasitas 6,7 m3/detik itu, misalnya, merupakan sarana pengendalian andalan untuk membebaskan banjir di kawasan Thamrin, Sarinah, Air Mancur, Merdeka Selatan dan sekitarnya dengan daerah tangkapan air seluas 75 ha (atau luas daerah yang diamankan sekitar 3.500 ha).Dengan pompa bantuan dari Jepang 2,8 miliar yen tersebut, debit air K. Cideng yang menjadi muara sejumlah saluran mikro dari beberapa lokasi permukiman dipompa untuk dibuang ke Banjir Kanal Barat. Adanya pompa Cideng sekaligus dapat mengurangi beban meluapnya Waduk Pluit.Sayang sekali, hampir seluruh sarana pengendalian banjir di DKI Jakarta, seperti saluran pembuangan dan waduk-waduk, keadaannya bisa dibilang cukup memprihatinkan. Ribuan meter kubik sampah masuk menumpuk di sana."Menumpuknya sampah bisa mengganggu operasional pompa. Aliran air tidak lancar dan volume air yang dapat disedot oleh pompa hanya sedikit. Adanya sampah bisa menyebabkan pompa macet atau bahkan rusak," jelas Soewardi. Tumpukan sampah tersebut tidak hanya berupa bahan plastik bekas atau limbah rumah tangga dan lain-lain yang baunya menyengat, tetapi juga "bangkai-bangkai" perabot rumah tangga, seperti meja, kursi, tempat tidur, dan sebagainya yang bisa merusak penyaring sampah (weed screen) dan juga pompa.Sementara untuk mencegah terjadinya genangan air akibat pengaruh pasang air laut, dibangun pintu pengelak pasang (tidak gate). Dengan adanya pintu ini, air pasang dapat dicegah dan ini dapat juga untuk flushing system.Mengandalkan master plan saja ternyata tidak mempan. Nyatanya Jakarta masih saja disantroni banjir, baik yang berupa genangan ataupun luapan sungai. Lalu apa yang sebaiknya mesti dilakukan? "Parkir-parkir air, misalnya situ-situ, waduk-waduk kecil perlu difungsikan kembali. Atau, penghutanan di bagian hulu," papar Soeroso.Sementara, menurut Ikhwanuddin Mawardi, staf Direktorat Pengkajian Teknologi Pemukiman dan Lingkungan Hidup, BPPT, untuk menanggulangi banjir di DKI Jakarta, perlu pembenahan tata ruang meliputi permukiman, dan lain-lain. Yang lebih penting lagi adalah menghutankan kembali daerah hulu (upper stream) yang punya fungsi sebagai daerah tangkapan air.Idealnya, luas hutan di daerah hulu paling tidak 30% dari luas daerah aliran sungainya (DAS). Kalau suatu DAS keadaannya demikian, air hujan dapat tertahan, karena sebagian masuk ke dalam tanah sebagai air tanah, menguap oleh proses evaportranspirasi, sehingga air yang mengalir di permukaan (runoff) lewat saluran dan sungai-sungai tidak menimbulkan banjir di bagian tengah atau hulu sungai.Kali Ciliwung, misalnya, keadaannya akan semakin parah kalau kawasan Puncak,Bogor, yang merupakan bagian hulu sungai besar ini tidak segera dibenahi tata ruang atau tata guna lahannya. Seperti diketahui, sebagian kawasan yang mestinya tetap dibiarkan sebagai hutan atau perkebunan, kini ditumbuhi hutan beton berupa vila, tempat peristirahatan yang terkesan semakin liar. Tanpa mengindahkan aturan tata ruang yang berlaku.Tanda-tanda rusaknya lingkungan kawasan Puncak itu sudah semakin nyata, bisa dilihat pada perbedaan debit air K. Ciliwung di musim kemarau dan musim penghujan yang semakin mencolok, yakni mencapai 1:540. artinya, bila musim kering debit airnya 1 m3/detik. Padahal yang normal perbandingan itu hanya1:23 sampai 1:129.Sementara itu untuk Jakarta, menurut Soeroso, perlu diterapkannya Surat Keputusan Gubernur No. 17 tahun 1992, yakni mengenai kewajiban membuat sistem sumur resapan. Setiap bangunan baru dalam IMB-nya, disyaratkan harus membuat sumur-sumur macam ini. Sumur resapan yang dimaksud adalah semacam parkir air tetapi berskala kecil, yang fungsinya diharapkan dapat sebagai recharge area (daerah tangkapan hujan). Secara rata-rata untuk wilayah DKI Jakarta setiap 100 m2 luas tanah, perlu sumur resapan yang bisa menampung air hujan sekitar 3 m3.Namun, Ikhwanuddin tidak berpendapat lain, walaupun tidak menolak adanya alternatif dibuatnya sumur-sumur resapan yang sekaligus juga bisa berfungsi sebagai pelestarian air tanah. "Sumur resapan untuk Jakarta kurang berarti. Kenapa? Karena jenis tanahnya lempung, sehingga daya resap airnya rendah. Kurang efektif untuk mencegah banjir di Jakarta. Sumur resapan macam itu lebih cocok untuk daerah-daerah yang jenis tanahnya porous, macam Yogyakarta yang tanahnya berpasir," jelasnya.Pemantauan keadaan banjir dilakukan mulai dari hulu. Keseluruhan ada 31 lokasi pemantauan banjir, 6 di luar Jakarta. Di antaranya, di Tangerang, Sunter Hulu, Depok, Ciawi, dan Bekasi. Sebagai contoh, untuk banjir dari hulu Ciliwung, sebelum masuk ke Jakarta, akan dipantau oleh pos pengamat Mercu Bendung Katulampa di wilayah Ciawi, Bogor. Berada pada ketinggian 349, 75 m di atas permukaan air laut. Melalui komunikasi radio, penjaga pos Katulampa menginformasikan posisi elevasi air K. Ciliwung, satuan debit, bukaan pintu, dan juga cuaca ke pos-pos jaga di Jakarta seperti Depok, Manggarai.Menurut Emus Mustapa, kepala ranting Dinas Pengairan Katulampa, informasi tersebut disampaikan satu jam sekali pada saat tidak hujan, dan per 5 menit pada saat hujan. Aliran dari Bendung Katulampa hingga Manggarai, perlu waktu 6 jam (pada peralihan musm hujan – kemarau) atau 12 jam (kemarau – hujan). Selama itu pula Jakarta bisa bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Dari pengalaman yang sudah-sudah, bila air yang lewat Bendungan Katulampa mencapai ketinggian 170 cm, Jakarta diperkirakan akan terancam banjir. Demikian juga bila posisi permukaan air Ciliwung di pos jaga Depok di atas 200 cm, merupakan ancaman banjir di Jakarta.Untuk mendistribusikan atau mengatur aliran air akibat luapan sungai ataupun air pasang, di Jakarta terdapat 22 buah pintu air. Di antaranya, pintu air Manggarai, Pulo Gadung, Sunter, Bakung Drain, dan sebagainya. Sementara yang berwenang atau bertanggung jawab membuka atau menutup pintu air tergantung pada tingkat kegawatan yang didasarkan pada posisi tinggi muka air sungai.Masalah banjir di Jakarta memang tidak semata-mata hanya berkaitan dengan curah hujan, kutrangnya kanal, ataupun waduk, tetapi menyangkut masalah sosial masyarakatnya, dan masih banyak masalah lainnya.Sampai kapan Jakarta akan tetap "ketamuan" banjir? Tidak akan ada yang tahu pasti.(Selesai)