Penulis
Intisari-Online.com - Anak muda tidak gengsi lagi berbatik-ria untuk pergi ke kampus, mal, pesta, termasuk buat gaul. Penjualan batik laris manis diserbu pembeli yang tidak mau "ketinggalan mode". Sayangnya, kegairahan itu cepat meredup. Nasib batik memang tidak selalu baik, walau di negerinya sendiri. Banyak yang sepakat, fenomena "mendadak batik" terjadi karena disulut pemberitaan media massa tentang motif-motif batik tradisional kita yang dipatenkan Malaysia. Terlebih batik bukan satu-satunya yang coba dipatenkan Malaysia.Lagu Rasa Sayange, angklung, reog, baju minang, sampai rendang. Maka yang kemudian terjadi, batik hadir di mana-mana: mal,kampus, bahkan kantor. Batik bukan lagi bajunya "orang kondangan" atau acara formal lain. Mereka yang biasanya cuek, tidak melirik bahkan menyentuh batik, ikut-ikutan genit memakai sebagai pakaian sehari hari.Nasionalisme yang terusik sampai berpengaruh ke tren busana bagi sebagian orang ternyata menggelikan. Salah satunya Nusjirwan Tirtaamidjaja, perancang busana yang sudah 40 tahun menggeluti batik. "Sama Malaysia kita tidak usah kelabakan. Kalau kelabakan, berarti kita enggak pede. Mereka boleh patenkan lima atau sepuluh motif, kita punya ribuan motif kok," kata pria yang lebih dikenal sebagai Iwan Tirta itu.Iwan mempersilakan motif-motif batik tradisional untuk dicontek. Masalahnya, apa mereka tahu filosofi dari motifmotif itu? Mereka juga tidak bisa mencuri proses membatik secara tradisional yang tidak sembarangan itu. Ada ritualritual khusus dalam membatik seperti puasa dan pengucapan mantra-mantra, yang tidak mudah dijalankan.Desainer kelahiran Blora 18 April 1935 ini mengajak kita untuk memahami batik itu sendiri. Apakah kain batik yang sesuai pakem asiinya atau sekadar tekstil bermotif batik saja. Keduanya serupa tapi tak serupa.Berasal dari tulisan: Ubah Tren Batik Menjadi Keseharian ditulis oleh T. Tjahjo Widyasmoro, Intisari Januari 2009