Penulis
Intisari-Online.com -Usahakecil dan menengah (UKM) ikut berjasa mengeluarkan batik dari habitat asalnya di dalam benteng keraton. Kini, pelaku ysaha dan seni batik ditantang agar batik mampu mengikuti tren dan tuntutan zaman.Untuk kalangan menengah ke bawah diisi batik-batik cetakan yang motifnya nyaris seragam bikinan industri UKM tekstil. Dalam sejarahnya, menurut pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB), AchmadHaldani, UKM inilah yang dulu berjasa "mengeluarkan" batik dari habitat asalnya di keraton ke masyarakat luas. Dari kreasi mereka pula muncul motif-motif pesisiran seperti batik Jawa Tengah bagian utara dan Jawa Barat.Haldani mengakui, lebih memasyarakatkan batik jelas bukan perkara gampang, meski juga bukan mustahil. Apalagi kalau bisa masuk ke anak muda yang dikenal sangat peduli mode. "Harus ditemukan batik yang gue banget itu seperti apa wujudnya. Bahasa-bahasa anak muda itu harus diterjemahkan. Jadi nantinya memakai batik jadi pilihan keseharian mereka," jelas dosen yang dikenal akrab dengan mahasiswanya ini.Toh cara ini tidak pula menjamin anak muda suka batik. Salah satu merek internasional, Adidas, pernah mencoba melakukannyadengan memasarkan pakaian dan sepatu olahraga bermotif batik. "Tapi gagal. Soalnya anak muda bilang, 'gue juga enggak gitu-gitu banget'," kata Haldani. Namun, mau tak mau kesan batik yang formal harus dikikis habis. Batik harus bisa untuk santai, ceria, atau bisa dipadu jin dan sneakers. Perkembangan batik juga terhambat "perdebatan" klasik antara pihak yang ingin melestarikan batik sesuai pakem tradisionalnya dengan mereka yang mencoba memperbarui.Batik-batik kreasi baru dari para pembatik generasi muda kerap mendapat cibiran dari para perancang batik yang sudahlebih dulu mapan. Padahal menurut Haldani, dulu para perancang itu juga melakukan terobosan dengan mempopulerkan batik-batik yang dulunya hanya terbatas untuk kalangan istana saja. Mengapa sekarang terjadi pertentangan?Karena itu, ia selalu meminta para mahasiswanya untuk mengambil jalan tengah: kenali filosofi batik, tanpa harus melibatkan diri dalam hakikatnya. "Mengenal itu perlu agar selanjutnya kita dapat berkreasi dengan sadar," begitu selalu pesannya tentang etika berbudaya.Mahasiswa harus terus berkreasi, agar kata "pelestarian" jangan cuma menjadi jargon, sementara batiknya sendiri malahmandek. Dengan karya-karya yang disebutnya ramah tradisi itu, batik terbuka untuk dikawinkan dengan berbagai motif dari daerah lain. Motif-motif dari Jawa yang selama ini mapan, bisa dipadukan dengan Sumatra, Kalimantan, bahkan Papua. Batik tidak akan mati, justru semakin hidup dan kaya kreativitas.Berasal dari tulisan: Ubah Tren Batik Menjadi Keseharian ditulis oleh T. Tjahjo Widyasmoro, Intisari Januari 2009