Ajaib, Giyoto Selamat Dari Awan Panas Merapi (Bag. 1)

Tjahjo Widyasmoro

Penulis

Ajaib, Giyoto Selamat Dari Awan Panas Merapi (Bag. 1)

Awan panas yang muncul akibat erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara mengingatkan kita pada fenomena serupa yang sering terjadi di Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam setiap letusannya, Gunung Merapi memang nyaris selalu memuntahkan awan panas. Bahkan tak jarang awan panas yang disebut wedhus gembel itu meminta korban jiwa penduduk sekitar. Ajaib, ternyata pernah ada seseorang petugas pengamat Merapi yang selamat dari terjangan awan panas Gunung Merapi. Berikut kisah Sugiyoto, seperti dituturkan kepada Intisari pada 2007.

Setiap kali Gunung Merapi menunjukkan aktivitasnya, Sugiyoto, Petugas Pengamatan Gunung Merapi di Kelurahan Jrakah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, selalu terkenang kembali pada peristiwa yang dialaminya 22 November 2004. Kala itu tiba-tiba saja Merapi menggeliat dari tidurnya tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Material panas berupa batu dan abu terlempar ke udara, disusul kemudian dengan awan panas yang menyapu lereng di bawahnya. Benar-benar peristiwa yang mencekam.

Kala itu, Giyoto, sudah nyaris tinggal nama. “Tidak tahu apa jadinya kalau saya terlambat bereaksi. Pasti sudah tidak bisa ketemu keluarga lagi,” kenang pria berusia 51 tahun ini dengan mata menerawang. “Untunglah, Gusti Allah masih memberi keselamatan.”

Giyoto mengisahkan, saat peristiwa itu terjadi, hari sebenarnya sedang cerah. Walau langit sedikit berawan, tapi Matahari tidak enggan membagi sinarnya kepada semua penduduk di sekitar lereng Merapi. Seperti hari-hari lain saat terkena giliran shift jaga, ia sedang berada di Pos Pengamatan Merapi di Plawangan, Kaliurang. Acara pagi biasanya dimulai dengan membersihkan pos. Sesekali diliriknya puncak Merapi yang terlihat tenang.

Tapi sayangnya, nyanyian pagi yang indah itu tidak berlangsung lama. Ketika arloji menunjuk pukul 10.15 WIB, Giyoto mulai melihat adanya guguran lava dari puncak Merapi. Guguran berupa batu-batu yang terjatuh dari puncak itu, mengeluarkan suara gemuruh. Awalnya kecil-kecil, tapi tak lama diselingi pula batu yang lebih besar. Bagi yang tidak terbiasa, atau tidak tahu, mungkin kejadian itu adalah sebuah tontonan menarik. Tapi bagi pengamat gunung berapi seperti dirinya, peristiwa itu berarti peringatan tanda bahaya bahwa Merapi akan beraktivitas!

Dalam pengamatan Giyoto, beberapa waktu sebelumnya, Merapi memang sudah beberapa kali menunjukkan jati dirinya. Sekitar bulan Maret, kubah lava mulai terbentuk di puncak. Artinya, sudah ada desakan magma dari dalam perut Merapi yang tidak sabar ingin keluar dengan cara meletus. Tapi yang lebih mengkhawatirkan, di puncak ada material sebesar 1,5 juta meter kubik dalam keadaan menggantung dan siap menggelinding ke arah Kaliurang. Apakah material itu yang akan jatuh? Hatinya terus bertanya-tanya.

Menit demi menit berlalu, bukannya mereda, guguran-guguran lava itu terus terdengar keras. Sebagai petugas pengamat, ia segera mengontak rekan-rekannya sesama pengamat gunung api di berbagai pos di seputar lereng Merapi melalui radio, untuk melaporkan perkembangan itu. Di frekuensi yang khusus disediakan bagi para pengamat, teman-temannya pun mulai bermunculan. Beberapa orang mengaku melihatnya dan saling berbagi laporan pandangan mata.

Walau menghadapi bahaya adalah salah satu risiko pekerjaannya, tapi kali itu Giyoto yang hanya bertugas seorang diri, tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. Tangannnya bergetar. “Suara saya, kata teman-teman saat itu, sudah seperti orang menangis waktu melaporkan keadaan di puncak Merapi,” kenang ayah dari dua putri dan satu putra yang ketika itu semuanya masih bersekolah.

Selain kepada sesama petugas, Giyoto juga sempat mengontak kantor pusat Pengamatan Gunung Merapi (PGM) di Yogyakarta. Ia juga sempat mengubungi Tim SAR yang bertugas di sekitar Merapi untuk berjaga-jaga sekiranya ada korban. Serta, melalui pesawat telepon dihubunginya pula kantor Kecamatan dan Bupati Sleman.

Kondisi rupanya terus memburuk. Material panas berupa batu dan abu yang berterbangan dari puncak juga semakin banyak. Akibatnya langit di sekitar Kaliurang pun tertutup dan langit pun menjadi semakin gelap, seperti sudah sore hari. Di saat seperti itu, mental seseorang yang paling berani sekalipun bakalan ciut. Apalagi suara menggelegar dan getaran dapat langsung dirasakan tubuh.

Sekitar pukul 10.45, awan panas pun muncul dari puncak Merapi. Warnanya yang putih dan bergulung-gulung, mirip kawanan domba yang berlari cepat menuruni bukit, membuat penduduk setempat menamakannya sebagai wedhus gembel (Jawa: domba). Awan panas gelombang pertama yang panjangnya mencapai tiga kilometer, muncul setiap dua menit dan mengarah ke Kali Krasak. Awan bersuhu 300? C ini kecepatannya 150 km/jam, atau sama seperti mobil yang ngebut di jalan tol dan siap menghanguskan apa saja yang dilewatinya.

Ancaman serius baru benar-benar datang sepuluh menit kemudian. Lewat komunikasi radio, Retyo, salah seorang pengamat yang bertugas di pos Ngepos di Kecamatan Srumbung, menginformasikan bahwa awan panas semakin membesar hingga berukuran enam kilometer. Deg! Jantung Giyoto seakan berhenti berdetak. Masalahnya, jarak antara pos tempat ia bertugas saat itu dengan puncak Merapi hanya empat kilometer saja! Sekali dihantam awan panasukuran jumbo, pastilah bangunan yang banyak menggunakan bahan kayu itu, akan gosong tak bersisa.

Saat itulah Giyoto merasa harus segera menyelamatkan diri. Tanpa meminta izin dari kantor pusatnya, ia langsung berlari ke luar pos. Sebisanya berlari menuruni bukit dengan langkah yang kencang sekencang-kencangnya. Padahal jalanan yang dilaluinya bukanlah jalanan mulus, melainkan hanya jalan setapak yang ditumbuhi tanaman dan rumput liar. Tidak peduli walau harus terjatuh berkali-kali di tengah langit yang sudah gelap sama sekali.

“Saat itu saya hanya mendengar bunyi ‘krosak, krosak, krosak’, yang tahunya bunyi pohon-pohon yang hangus. Di mana-mana terlihat batu-batu panas berterbangan. Rasa panas dan gerah juga terasa. Malah sepertinya ada batu-batu yang jatuh hanya satu meter di belakang saya,” kenang pria bertubuh sedikit gemuk ini dengan mata menegang.

Dalam keadaan terdesak oleh bahaya, konon kita bisa mengeluarkan tenaga ekstra yang tidak terkira besarnya. Mungkin anggapan itu benar, tapi setidaknya Giyoto telah membuktikannya. Walau dengan usah payah dan napas yang tersengal-sengal, akhirnya ia sampai di salah satu bukit yang dirasakannya cukup aman.

Kebetulan di tempat itu pula, ia bertemu Panut, rekannya sesama pengamat yang datang ditemani seorang wartawan dari Yogyakarta. Panut yang mengetahui amukan Merapi pagi itu rupanya sengaja bergegas menuju ke pos untuk mengetahui keadaan rekannya. Mengetahui kedatangan rekannya, Giyoto langsung terduduk lemas. Napasnya tersengal-sengal, dengan perasaan yang tidak karuan.

Panut menyadarkan temannya agar tenang, karena ancaman bahaya sudah tidak sampai di tempat mereka. Baru di situlah Giyoto menyadari bahwa dirinya telah benar-benar aman dan selamat. Berkali-kali mulutnya mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa. Setelah napasnya mulai teratur, ia semakin bersyukur karena tubuhnya pun sama sekali tidak luka. Paling hanya lecet-lecet karena terjatuh dan menerjang tanaman sewaktu berlari. (bersambung ke bagian 2)