Penulis
Awan panas yang muncul akibat erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara mengingatkan kita pada fenomena serupa yang sering terjadi di Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam setiap letusannya, Gunung Merapi memang nyaris selalu memuntahkan awan panas. Bahkan tak jarang awan panas yang disebut wedhus gembel itu meminta korban jiwa penduduk sekitar. Ajaib, ternyata pernah ada seseorang petugas pengamat Merapi yang selamat dari terjangan awan panas Gunung Merapi. Berikut kisah Sugiyoto, seperti dituturkan kepada Intisari pada 2007.
Serangan awan panas besar yang nyaris merenggut nyawa Giyoto, sekaligus menjadi tanda bahwa Merapi sudah menyelesaikan muntahnya. Berangsur-angsur, gunung yang tercatat sebagai salah satu gunung yang paling aktif di dunia itu pun mulai tenang. Cahaya Matahari terlihat mulai menembus langit, walau sisa-sisa debu letusan masih menghalangi pandangan ke kejauhan.
Selama sekitar satu jam, Giyoto beristirahat untuk memulihkan kondisi fisik dan mentalnya. Setelah dirasa cukup, ia pun berunding dengan Panut untuk kembali ke pos mereka dan menyelamatkan barang-barang yang ada. Keduanya sepakat menghadapi bahaya apapun yang mungkin muncul, sambil tetap pasrah kepada Tuhan dan memohon perlindunganNya.
Keduanya melangkah perlahan sambil terus mengamati puncak Merapi yang masih terus mengeluarkan asap. Pemandangan di sekitar jalan yang mereka lalui sungguh menyesakkan mata. Pohon-pohon dan rerumputan terlihat hangus atau paling tidak tertimbun abu letusan yang tebal. Hawa panas masih sedikit terasa di mana-mana.
Sesampai di pos, keadaan rupanya lebih menyedihkan. Walau tidak terkena awan panas secara langsung, kantor yang sekaligus tempat tinggal mereka selama bekerja itu, keadaannya sudah tidak karuan. Seluruh kaca jendela pecah, barang-barang inventaris seperti meja, kursi, almari, semuanya rusak nyaris tak berbentuk. Seismograf yang menjadi alat pencatat getaran gempa sudah meloncat-loncat tidak karuan. Bahkan, pos Plawangan malah tidak punya catatan gempa akibat letusan kali itu.
Giyoto dan Panut segera memeriksa sekeliling, kalau-kalau ada barang-barang yang bisa diselamatkan. Satu-satunya peralatan berharga yang masih bisa berfungsi hanyalah radio komunikasi. Keduanya lalu bersepakat untuk menyelamatkan alat yang vital itu dan segera membawanya turun. Pos Plawangan yang berada di ketinggian 1.295 mdpl itu sepakat ditinggalkan, karena tidak ada yang dapat mereka kerjakan lagi di sana.
Menumpang sebuah kantor di Kaliurang, sekitar pukul 15.00, Giyoto mulai mengudara lagi di frekuensi para pengamat gunung Merapi. Ketika suaranya mulai berkumandang, teman-teman sesama pengamat Merapi langsung menyambut dengan suka cita sekaligus haru. Selama beberapa jam, mereka rupanya mengira sudah kehilangan salah satu rekan ngobrol sehari-hari. Maklum, menyelamatkan diri dari amukan wedhus gembel dengan tubuh yang sehat, sebenarnya sebuah keajaiban. Kata-kata syukur kepada Yang Maha Kuasa kembali bersambutan.
Sesama pengamat gunung Merapi memang saling mengenal. Di saat tidak banyak kegiatan yang bisa dikerjakan, mereka biasanya saling ngobrol di radio untuk sekadar mengusir kebosanan. Bermacam-macam hal dapat diomongkan di udara mulai dari masalah pekerjaan sehari-hari, keluarga, atau keadaan di sekitar pos. Malahan, mereka juga terhubung dengan sesama petugas pengamat gunung berapi di berbagai daerah bahkan pulau-pulau lain di Indonesia.
Di saat diadakan pelatihan-pelatihan kegunungapian, para pengamat tadi juga bisa saling kopi darat. Di antara mereka ada perasaan senasib, karena harus terus berjaga untuk mengamati Merapi meski dari arah yang berbeda-beda. Apalagi jikalau Merapi sedang berada dalam status “Siaga”, mereka harus memantau perkembangan selama 24 jam sambil terus saling berbagi informasi.
Yang juga tidak kalah bersyukur hari itu adalah keluarga Giyoto di rumah mereka di Desa Banyubiru, Kecamatan Dukun, Magelang. Karena sejak Merapi mulai bergejolak, sebenarnya mereka juga memantau percakapan para pengamat melalui radio, termasuk ketika detik-detik terakhir Giyoto memutuskan untuk meninggalkan pos. Di rumah, istri dan anak-anaknya, hanya bisa mendengarkan tanpa bisa tahu nasib suami dan ayah mereka selanjutnya. Tanda tanya dan bermacam-macam pikiran sudah muncul di benak masing-masing.
Hari itu pula, berbagai pihak seperti SAR, polisi, dan petugas medis mulai sibuk menangani korban letusan Merapi yang terasa mendadak. Apalagi kemudian diketahui terdapat 66 orang yang tewas di Dusun Turgo akibat serangan awan panas. Tragisnya, saat letusan terjadi, mereka sedang bersuka cita karena menghadiri sebuah pesta perkawinan.
Posisi dusun Turgo sebenarnya berada lebih rendah dibandingkan pos pengamatan Plawangan. Hanya saja, awan panas meluncur langsung menuju ke arah dusun itu. Sedangkan pos Plawangan yang berada di bukit sebelahnya, hanya terkena kibasan sayap awan panas yang melintas melalui jalur Kali Boyong. Giyoto memperkirakan, selama letusan yang berlangsung tidak lebih dari tiga jam itu, ada sekitar 90 kali awan panas yang meluncur.
Keputusan Giyoto untuk berlari sangatlah tepat, karena terlambat beberapa detik saja, maka ia mungkin akan terbakar hangus sendirian di dalam pos. Apalagi di pos tidak tersedia bunker seperti lazimnya pos-pos pengamatan zaman sekarang. Ia sebenarnya bisa saja menyelamatkan diri di dengan berendam di dalam bak air ukuran besar yang ada, “Tapi dalam keadaan panik, malah tidak sempat terpikir,” tutur petugas yang mulai bekerja sejak 1982 ini.
Ada satu hal yang membuat Giyoto sedih. Di antara korban di Turgo, ternyata ada satu orang temannya, bernama Sarmin. Saat Merapi mulai meletus dan langit mulai gelap, ia berusaha mememperingatkan penduduk Turgo, tapi tidak ada alat komunikasi ke dusun itu. Satu-satunya orang yang bisa dikontaknya melalui handy talkie adalah Sarmin, yang sesungguhnya sudah berada di tempat kerjanya di kawasan wisata Kaliurang.
Mendengar peringatan Giyoto, Sarmin bergegas pulang ke Turgo untuk menyelamatkan tetangga dan keluarganya. Malang nasibnya, saat dalam perjalanan, awan panas keburu menghantamnya di jalan. “Jenazahnya sampai sekarang tidak ditemukan,” ujar Giyoto yang setiap hari bertemu temannya itu saat melintas Kaliurang.
Selepas peristiwa itu, Giyoto sempat diminta Sukiar, Kepala PGM, untuk beristirahat. “Sudah jangan mikir Merapi dulu,” pesan atasannya saat itu. Tapi justru di rumah ia merasa tidak betah dan kepingin bekerja saja. Karena itu, tiga hari kemudian, ia masuk kerja seperti biasa. Memang, sewaktu pertama kali bertugas, sempat beberapa saat Giyoto seperti orang linglung. Seperti sedang merasakan suatu beban, tapi tidak tahu apa.
Belakangan, Pos Pengamatan Merapi di Plawangan ditutup karena dipandang berbahaya. Sebagai penggantinya, PGM membangun sebuah pos baru di Kaliurang. Giyoto pun masih tetap bertugas di sana hingga kemudian dipindahkan ke pos Ngepos di Kecamatan Srumbung Magelang pada 1997.