Penulis
Intisari-Online.com - Sertifikat halal terhadap produk makanan dan minuman di Indonesia sebenarnya tidak perlu. Justru yang perlu diberi sertifikasi adalah produk yang haram.
Dengan pelabelan sertifikat haram pada makanan yang mengandung unsur babi, misalnya, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim justru mendapat kemudahan untuk menghindarinya.
"Mayoritas makanan dan minuman siap konsumsi di Indonesia kan halal? Jadi ngapain repot-repot mengurusi yang sudah mayoritas halal? Justru yang diberi sertifikat itu harusnya yang haram, karena jumlahnya sedikit," kata pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dalam diskusi 'Urgensi Sertifikasi Bagi Perlindungan Konsumen,' yang digelar Sucofindo dan KOJI, Minggu (16/2/2014).
Tulus menganalogikan dengan kondisi negeri China yang mayoritas makanan dan minuman yang beredar di negeri itu mengandung babi alias tidak halal. Pada kondisi negeri berpenduduk mayoritas non muslim seperti China, sertifikat halal baru diperlukan.
"Karena jumlah menu makanan haram lebih dominan dibanding yang halal. Jadi sertifikat halal memberi kemudahan pada muslim menemukan makanan yang halal disantap," tuturnya.
Tulus bertutur, pemberlakuan sertifikat halal di Indonesia malah merepotkan karena mayoritas makanan yang notabene sudah halal harus ikut menjalani proses sertifikasi dengan biaya mahal.
Ujung-ujungnya, biaya tersebut dibebankan ke konsumen oleh produsen lewat komponen harga. Dengan kata lain, konsumen dirugikan dengan sertifikat halal.
"Contohnya masakan Padang yang jelas-jelas halal itu masa harus ikutan menjalani sertifikasi halal?" tanya Tulus. (Agung BS/tribunnews.com)