Saat Ganja untuk Medikamentosa

Agus Surono

Penulis

Saat Ganja untuk Medikamentosa

Pemanfaatan ganja untuk medis ternyata sudah sejak tahun 2373 SM. Hasil penelitian yang dilakukan Universitas Columbia pada tahun 2007 menyentakkan dunia: pasien HIV/AIDS yang menghirup ganja empat kali sehari mengalami peningkatan kemampuan tubuh dalam menyerap asupan makanan. Hasil lain dari Sekolah Kedokteran San Diego menemukan bahwa sebagai analgenik, ganja mampu mengurangi pengaruh negatif HIV terhadap saraf. Secara psikis, pengidap HIV yang menggunakan ganja dapat memiliki suasana hati yang baik.Manfaat lain ganja adalah untuk mengobati kanker otak. Walau efek positif ini baru dilakukan pada tikus yang ditulari sel tumor manusia. Akan tetapi pihak Universitas Complutense Madrid selaku peneliti merasa yakin hal yang sama akan terjadi pada manusia. Dalam 26 sampai 30 hari sel kanker memang hilang, namun belum diketahui tentang mekanisme bagaimana zat tetrahydrocannabinol (THC) pada ganja bisa membunuh sel kanker.Bagi yang berusia lanjut ganja dapat diharapkan untuk mencegah alzheimer atau menurunnya fungsi otak. THC dapat menola pembentukan endapatn penyebab alzheimer, selain mengalangi munculnya gumpalan protein yang mengurangi fungsi ingatan dan kognisi.Masih ada beberapa penyakit yang mampu diobati oleh tanaman ganja. Setidaknya itu berdasarkan penelitian. Kanker payudara, ketergantungan opiat, migrain, hepatitis C, dan glaukoma beberapa di antaranya. Pada zaman dahulu di Cina tanaman ganja sudah menjadi satu dari 50 tanaman yang fundamental dalam tradisi kedokteran di Negeri Tirai Bambu ini. Pemanfaatannya mulai dari daun, biji, bunga, tangkai, hingga akarnya. Tanaman ini digunakan sebagai bagian dari P3K karena sifat analgesiknya. Hal yang sama juga dijumpai di Mesir dan Yunani Kuno.Cara pemanfaatan ganja beragam dalam dunia medikamentosa: diuapkan, dimakan, diminum, dibikin kapsul, atau seperti yang lazim dilakukan, yakni dihisap.Tentu saja pendapat yang kontra soal ganja sebagai obat juga bermunculan. Donald Tashkin, guru besar Sekolah Kedokteran David Geffen di UCLA, Los Angeles, menemukan bahwa penggunaan ganja tidak memiliki hubungannya dengan terapi kanker paru. Ini bertolak belakang dengan penemuan sebelumnya yang didasarkan pada 2.240 responden pada tahun 2006, yakni THC mendorong apoptosis (kematian sel-sel yang berpotensi untuk menjadi kanker).Di Indonesia sendiri, menurut dr. Yuniar Sukmawati, direktur medik dan keperawatan RS Ketergantungan Obat, Jakarta, penggunaan ganja sebagai obat belum pernah dilakukan. Alasannya, ada data temuan bahwa dampak positif ganja pada pengobatan lebih sebagai penyokong, bukan benar-benar mengobati penyakit secara langsung. Selain itu, ganja dapat menyebabkan ketergantungan.Ya, ganja memang masih kontroversi soal ini. Penelitian yang mendalam dan sosialisasi dampak baik dan buruk ganja masih perlu dilakukan lagi sebelum benar-benar dijadikan obat. Sebabnya, begitu dijadikan obat berarti ganja dilegalkan. Hal yang masih sulit dilakukan saat ini.