Penulis
Intisari-Online.com -“Crimea dan Sevastopol akhirnya pulang ke Rusia!” seru Vladimir Putin, Presiden Rusia di Lapangan Merah Moskwa pada Selasa (18/3), yang disambut gegap gempita oleh masa yang hadir. Pernyataan itu terlihat sebagai tantangan berani terhadap Barat dan AS. Inggris menyebut, Putin dan Rusia lebih memilih, menyitir Kompas, “jalan isolasi”.
Sevastapol merupakan pelabuhan di Ukraina yang digunakan Rusia untuk menempatkan armada Laut Hitam-nya. Untuk Crimea, sejatinya sudah berada di bawah imperium Rusia sejak abad ke-18, sampai ketika presiden Nikita Krushchev menyerahkannya kepada Pemimpin Ukraina pada 1954.
Beragam reaksi tentu saja muncul akibat penandatanganan traktat tersebut, salah satunya Inggris. Secara terang-terangan Parlemen Inggris memperingatkan hubungan Barat dan Rusia akan menghadapi perubahan yang signifikan. Begitu juga dengan Uni Eropa dan terutama Amerika Serikat.
Tidak main-main, beberapa negara bahkan menyebut Krisis Ukraina, sebagai buntut aneksasi Semenanjung Crimea, sebagai kemelut krisis politik dan ekonomi antara Rusia dan Barat paling buruk sejak Perang Dingin. Beberapa analis bahkan yakin, aneksasi Crimea bukan akhir dari krisis ini lantaran setengah dari wilayah Ukraina banyak diduduki oleh etnis Rusia yang sehari-hari menggunakan bahasa Rusia.
Sanksi berhamburan
London sudah memutuskan untuk menunda seluruh kerja sama dengan Kremlin. Sebelumnya para pemimpin Uni Eropa sepakat menjatuhkan sanksi pembekuan visa dan aset sejumlah tokoh Rusia dan Ukraina yang terlibat dalam kasus aneksasi Crimea. Begitu juga dengan Amerika Serikat.(Baca juga: Rusia Minta AS Dicoret dari Piala Dunia 2014)
AS bahkan dengan keras memperingatkan para pemimpin berpengaruh Rusia jika masih ikut campur dengan persoalan yang ada di Ukraina. Sebanyak tujuh pejabat Rusia mendapat embargo dari Amerika, termasuk Deputi Perdana Menteri, Dimitry Rogozin. Embargo juga diberlakukan kepada empat orang Ukraina yang disinyalir terlibat dalam perampasan integritas teritorial Ukraina.
Sanksi juga datang dari Kanada dan Jepang. Kedua negara itu dengan tegas mengecam lankah negara eks Uni Soviet tersebut. (Sumber: Harian KOMPAS)