Find Us On Social Media :

Pendapat Kedua, Hak Pasien

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 24 Agustus 2012 | 12:00 WIB

Pendapat Kedua, Hak Pasien

Intisari-Online.com – Ilmu kedokteran itu juga seni. Seni mendekati pasien, menganalisis keluhan, gejala dan tanda penyakit. Lumrah kalau kesimpulan dari pendekatan itu antardokter bisa berbeda-beda diagnosisnya.

Pertama, karena dalam perjalanannya penyakit tidak statis melainkan berproses sampai ke tahap terminalnya. Saat berkunjung ke dokter, penyakit pasien bisa saja baru tahap awal. Ada juga yang sudah terminal baru ke dokter.

Ibarat menebak pohon, adakalanya pasien datang ke dokter saat baru menampakkan daun pohonnya, atau rantingnya, atau dahannya saja.

Upaya diagnosis dokter ketika baru melihat daun, ranting, dan dahan, tentu tak sama peliknya dengan diagnosis yang dibuat setelah dokter melihat utuh seluruh wujud pohonnya. Maka, jamak kalau dokter tidak selalu tepat “menebak”.

Jam terbang dokter ikut menentukan hasilnya. Meski sudah jelas wujud pohonnya, tetapi masih salah juga mengenali. Model begini tentu sudah tidak jamak lagi.

Untuk mengantisipasi kurang tepatnya seorang dokter menempuh proses mendiagnosis, di pihak dokter biasanya ada proses tilik-sejawat (peer-review). Yang ini biasa dilakukan di praktik dokter bersama, atau rumah sakit. Tidak di praktik per orangan.

Namun, bagi pihak pasien dapat mempertimbangkan untuk meminta pendapat kedua dari dokter yang berbeda. Jika masih juga terasa belum bulat benar kesan diagnosisnya, bisa saja minta pendapat ketiga, atau seterusnya. Sikap demikian bagian dari hak pasien. Tidak setiap keputusan dokter wajib pasien turuti jika terasa menyangsikan. Termasuk apabila suatu diagnosis sudah benar bulat, tidak lagi lonjong, atau gepeng. (Sehat Itu Murah)