Kala Makanan Bikin Kecanduan

Nisrina Putri Rahayu

Penulis

Kala Makanan Bikin Kecanduan

Intisari-Online.com - Bagaimana tanggapan Anda ketika menyaksikan sebuah iklan produk makanan dan minuman yang sangat menggoda selera makan Anda? Ya, tentu terbayang dalam pikiran kita betapa lezatnya makanan dan minuman sehingga kita ingin atau bahkan langsung membeli produk yang diiklankan tersebut. Pelaku bisnis industri pangan tentu akan melakukan beribu macam cara untuk meningkatkan penjualan produk mereka. Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana jika konsumen menjadi sangat ketagihan atau kecanduan yang disebut dengan food addiction.

Tidak ada definisi khusus secara klinis mengenai food addiction ini. Dalam sebuah survei terhadap sekitar 350 mahasiswa Yale University di Amerika Serikat, 11 persen responden mengalami food addiction. Kebanyakan gejala yang mereka alami adalah hilang kendali ketika makan, selalu ingin makan atau menambah porsi makan yang lebih banyak. Rata-rata kasus food addiction dialami oleh mereka yang mengonsumsi makanan yang tidak sehat. Survei ini juga menunjukkan bahwa food addiction secara umum berpengaruh terhadap obesitas dan masalah kesehatan lainnya.

Beberapa bukti telah menyatakan bahwa sebagian makanan dapat mempengaruhi otak kita seperti obat-obatan adiktif. Faktor yang menyebabkan kecanduan atau ketagihan adalah dopamin. Dopamin merupakan neurotransmitter otak yang merangsang kita untuk makan, perasaaan senang terhadap musik, dan rasa puas terhadap hal-hal lain (termasuk seks). Hewan yang kekurangan dopamin akan mati kelaparan karena mereka tidak memiliki nafsu makan.

Namun, berdasarkan penelitian Brookhaven National Laboratory melalui pindai otak tentang obesitas dan dopamin menunjukkan hasil yang bertolak belakang. Otak orang yang mengalami obesitas memiliki kadar dopamin yang lebih rendah dibandingkan orang dengan berat badan normal. Kondisi ini juga terjadi pada kasus kecanduan kokain, alkohol, dan obat-obatan lainnya.

Jika dopamin membuat Anda ingin makan, mengapa orang yang mengalami obesitas atau kecanduan obat memiliki respon dopamin yang lebih rendah ketika mereka makan atau mengkonsumsi obat? Alasannya adalah adanya perasaan kurang terhadap jumlah makanan atau sesuatu yang mereka dapatkan sehingga membuat mereka tidak puas dan ingin jumlah yang lebih banyak (Monell Chemical Senses Center: lembaga penelitian tentang sensori rasa dan bau di Philadelphia, Amerika Serikat).

Faktor genetik atau faktor kebiasaan?

Apakah orang yang mengalami food addiction terlahir dengan sistem respon dopamin rendah atau orang yang mengalami obesitaslah yang memiliki respon dopamin rendah karena food addiction? Pertanyaan ini sama seperti pertanyaan “lebih dulu mana ayam atau telur?”.

Menurut Kyle Burger, seorang peneliti di Oregon Research Institute's Eating Disorders and Obesity Prevention Lab, bukan faktor berat badan yang mengubah reseptor dopamin, tetapi faktor proses makan makanan padat kalori secara berlebihan. Sebuah respon dopamin yang lebih rendah mungkin memiliki dampak ganda untuk orang yang mengalami kenaikan berat badan, yaitu dapat membuat mereka lebih mungkin untuk makan berlebihan dan makan berlebihan dapat mengurangi respon dopamin.

Masih dalam penelitian yang sama, Burger menyatakan faktor genetik juga mempengaruhi respon dopamin terhadap food addiction. Penelitian dilakukan dengan membandingkan 30 remaja yang memiliki resiko obesitas tinggi (kedua orang tuanya memiliki riwayat obesitas) dengan 30 remaja yang memiliki resiko obesitas rendah, namun kedua tipe remaja ini sama-sama memiliki berat badan normal. Hasil penelitian menunjukkan remaja dengan resiko obesitas tinggi memiliki respon dopamin yang lebih besar. Jadi, orang yang mengalami obesitas dapat memulai bukan tidak sensitif, tetapi sangat sensitif terhadap respon dopamin.

Apakah setiap makanan dapat menyebabkan food addiction?

Makanan yang manis dan berlemak memiliki kalori tinggi yang dapat membuat kita ingin makan lagi dan lagi. Namun, penelitian sampai saat ini hanya makanan yang berkalori tinggilah yang ditelitti sebagai salah satu faktornya, sedangkan garam dan zat tambahan lain dalam bahan pangan belum dilakukan penelitian lebih lanjut. Tubuh manusia secara normal membutuhkan kalori untuk melakukan aktivitas, dan muncul keinginan untuk makan ketika merasa lapar. Akan tetapi, ketika asupan kalori berlebih maka kalori tersebut akan diubah menjadi lemak dan lemak sulit dimetabolisme dengan cepat sehingga tubuh merasakan lapar. Akibatnya, sistem membuat kita makan banyak ketika terjadi defisit kalori.

Mengatur pola makan dengan gizi dan kalori seimbang, menghindari junk food, menghindari stress, dan melakukan olahraga secara teratur dapat mencegah food addiction yang berakibat pada obesitas.