Dalang Asep Sunandar Sunarya Pernah Ingin Jadi Presiden

Chatarina Komala

Penulis

Grid Networks Dalang Asep Sunandar Sunarya Pernah Ingin Jadi Presiden
Dalang Asep Sunandar Sunarya Pernah Ingin Jadi Presiden

Intisari-Online.com - Ini tak ada kaitannya dengan isu suksesi mendatang. Dulu cita-citanya memang ingin jadi pembesar. Jatuhnya, Asep cuma jadi dalang. Tapi, ia tak menyesal. Apa boleh buat, nasib Asep Sunandar Sunarya tersurat lain. (Baca juga:Dalang Asep 'Cepot' Sunarya Meninggal Dunia)Dibesarkan dengan lingkungan dan bakat mendalang, Asep pernah mengaku tak menyesal ketika memutuskan untuk menjadi dalang. "Kedudukan saya sekarang mah melebihi jabatan gubernur, menteri, bahkan presiden. Coba lihat, seluruh negara saya 'kuasai': Astina, Amarta, Alengkadiraja, dsb. Sejajar dengan PBBkan?he...he...he...," Asep berkelakar dengan logat Sunda yang medok dan tawa yang khas. Namanya sendiri tiba-tiba mencuat menggugah dunia seni lewat pertunjukan wayang golek Sunda setelah ia muncul di layar kaca lewat TVRI Stasiun Pusat menyambut HUT proklamasi kemerdekaan RI tahun 1985. Asep atau yang lebih dikenal dengan karyanya, wayang golek bernama Cepot yang berkulit merah ini sudah menekuni dunia pedalangan sejak tahun 1973. Asep 'Cepot' Sunarya lahir di Kampung Giriharja, Desa Jelengkong, Kecamatan Ciparay, Bandung Selatan pada 5 Mei 1955. Bakat dan minatnya dalam mendalang tak sulit dirunut. "Kalau soal saya jadi dalang mah, kakek saya, bapak saya, paman saya dalang. Mungkin keturunan, selain bakat."Sebagai anak ketujuh dari tiga belas anak dalang tersohor Jawa Barat, tampaknya Aseplah dalang yang paling menonjol dan digemari. Selain sering menyimak ayah dan kakaknya mendalang, Asep juga membekali dirinya dengan membaca buku-buku kisah pewayangan, semacam Mahabarata, Ramayana, Lokapala, juga cerita dan komik wayang karangan R.A. Kosasih.Dari sana ia menghafal ceritanya, meski lambat-laun mampu mengarang cerita sendiri tanpa serong dari pakem (tradisi cerita wayang). Bahkan, "Saya sudah mengarang sejumlah cerita wayang, lalu dibuat buku cerita bergambar. "Namun, tak heran kalau, "Tahun-tahun pertama ngedalang saya demam panggung. Terkadang waktu wayangnya main kecrek-nya diam. Kecrek-nya bunyi, wayangnya diam, ha ... ha ... ha ...." Gemar menonton filmSaat pertama kali menerima honor yang dulu dinilainya agak besar, ia pun merasa senang bukan main. Akibatnya, ia jadi lupa sekolah. "Saya nye- sel hanya tamat SMTP. Semua ltu gara-gara banyak orang nanggap saya. Lalu sekolah dibiarkan." Uang hasil nanggapitu pundipakainya untuk bobogohan (pacaran) dan menonton film di bioskop. Ia gemar menonton film lucu dan kungfu. Bagi Asep film tak sekadar buat hiburan, tapi merupakan sumber kreativitasnya yang penting. Dari film, ia bisa meniru gerakan atau jurus-jurus kungfu dan gerakan-gerakan kocak lainnya, lalu memvisualisasikannya ke dalam teknik- teknik permainan wayang goleknya. Selain itu, ia sendiri membekali diri dengan dasar-dasar ilmu silat dan menari. Tahun-tahun pertama mentas, ia mengaku agak tersendat. Namun, berkat dorongan dari berbagai jurusan seperti dosen-dosen ASTI, Nano-S. guru SMTKI Bandung, ia maju terus.Bukan cuma itu, ia pun menyimak dengan cermat sembari corat-coret membuat catatan setiap kali ikut ayah atau kakaknya mendalang.Tak cukup dengan "mencuri" ilmu dari ayahnya, Asep juga pernah mengikuti kursus pedalangan di RRi Bandung tahun 1973 selama enam bulan. (Baca juga: Dalang atau Wayang?)

Di antara peserta kursus ia tampak menonjol. "Saya jadi bintang kelas saat itu," kata Asep bangga. Banyak yang dia peroleh dari kursus tersebut. Ilmu tentang cara bicara, amaidibasa (bahasa Sunda untuk menghadapi atasan/bawahan), amardawa lagu (pemilihan tinggi-rendahnya nada lagu), antawacana (dialog) dsb. bertambah.

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1990)