Dalang Asep Sunandar Sunarya: Dalang Harus Kreatif

Chatarina Komala

Penulis

Dalang Asep Sunandar Sunarya: Dalang Harus Kreatif

Intisari-Online.com - Indonesia berduka kehilangan salah satu maestro wayang golek, Asep Sunandar Sunarya yang meninggal pada Senin kemarin (31/3). Seniman besar yang dinilai fenomenal ini telah memberikan sumbangsih besar bagi kelestarian wayang golek, terutama membuatnya bisa diterima oleh banyak orang.(Baca juga:Dalang Asep 'Cepot' Sunarya Meninggal Dunia)Selama hidupnya, Asep mencoba berkreasi dengan seni dalang dan pewayangan. Di tangan Asep, boneka-boneka kayu kaku itu seakan berubah menjadi makhluk hidup dengan visualisasi gerakan estetis dan memikat. Tak hanya kedua tangan yang bergerak, goleknya juga bisa bermain kungfu, menari jaipong, meludah, muntah, bernapas, memuncratkan darah, membuka dan menutup mulutnya, bahkan patah lehernya.Sementara, mata berkedip, bibir merat-merot, kepala menengadah dan menunduk, menengok ke kiri dan ke kanan adalah hasil temuan Asep yang lain.Teknik ini berkembang dari wujud dasar wayang golek yang tiga dimensi. Bahkan Asep juga mampu menciptakan kombinasi yang terasa tidak mengganggu.Agaknya semua itu memang teknik dan modifikasi yang dikembangkan Asep sehingga dapat menjadi dalang beken selama hidupnya. Ditambah pertunjukkannya yang sarat lawakan ala Sunda, ia kian digemari di tanah Priangan.Wayang tak boleh dianggap kunoAsep mengaku, ide pembaruan teknik pementasan itu sebenarnya datang dari ayahnya sendiri, Abah Sunarya. "Waktu itu Abah marah dan sedih mendengar percakapan sekelompok anak muda, 'Mau nonton wayang golek, ya? Uh, kuno. Kampungan!' Lalu dipanggillah ke lima anak lelakinya. Pesannya, kami harus membuktikan bahwa wayang golek tidak kuno dan kampungan," kata Asep yang memandang ayahnya, di samping dalang Cecep Supriyadi, sebagai dalang idolanya.Pada tahun 1980 dibuktikannya hal itu. Pro dan kontra pun muncul. Media massa Bandung ramai membicarakannya. Kritik tajam menuduh, kreasi dalang muda itu telah keluar dari tetekon dan pakem. Namun, ia tak bergeming. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. "Agar masyarakat terutama generasi muda, tidak lupa pada wayang," alasannya waktu itu.Semua kritik lantas ditanggapinya dengan lapang dada. Bahkan pamornya terus menjulang sebab masyarakat yang dinamis justru mendambakannya.Tantangan para dalangMenurutnya, dalang sekarang, apalagi masa datang, harus kreatif dan mengikuti perkembangan zaman, jika tidak ingin seni pewayangan ditinggalkan masyarakatnya. Bahkan, beberapa kali ia berhasil menyelundupkan wayang golek ke dunia kampus. "Dalang masa depan seharusnya tak cuma tamatan SMTP seperti saya. Harus bertitel insinyur atau doktorandus sehingga bisa mengimbangi perkembangan masyarakat dan zamannya."

Teater terbesar dunia itulah tantangan yang tidak ringan buat para dalang masa depan. Asep sendiri menilai jadi dalang itu berat. Di samping dituntut mampu berfungsi sebagai juru penerang, pendidik dan penghibur.(Baca juga:Bukit Nglanggeran: Kutukan Dalang bagi Yang “Nglangger”) "Dalang itu juga penyanyi, pengrawit, penari dan sutradara. Jadi, ia harus tahu musik, tari-menari, seni drama dsb. Makanya di zaman serba canggih ini, profesi dalang dihadapkan pada banyak tantangan. Ia harus selalu meningkatkan kreativitas dan wawasan. Seharusnya itu dilakukan dalang-dalang muda. Kalau saya mah nggak bisa sampai ke sana, karena sudah capek, waktu tersita untuk ngedalang," imbuhnya.--

(Artikel ini pernah dimuat di MajalahIntisariedisi November 1990)