Find Us On Social Media :

Gerakan SabangMerauke (3): Memutus Warisan Kebencian

By Birgitta Ajeng, Selasa, 25 November 2014 | 17:00 WIB

Gerakan SabangMerauke (3): Memutus Warisan Kebencian

Intisari-Online.com - Perbedaan sesungguhnya sesuatu yang indah. Pengalaman inilah yang diperkenalkan kepada anak-anak Indonesia peserta gerakan SabangMerauke. Mereka merasakan tinggal bersama dengan orangorang yang berbeda keyakinan untuk merayakan perbedaan.

---

Ide selalu bersumber dari gabungan informasi-informasi. Entah dari informasi yang membahagiakan atau yang membuat hati masygul seperti ini: “Ibu Ayu hati-hati sama orang Kristen, nanti orang Kristen bisa bakar-bakar Ibu Ayu pe rumah.”

Kalimat itu diutarakan secara fasih oleh murid-murid SD kepada Ayu Kartika Dewi, yang akrab disapa Ayu, ketika mengajar di Halmahera Selatan, Maluku Utara, selama setahun (2010 – 2011). Padahal murid-murid Ayu tidak pernah bertemu orang Kristen seumur hidupnya, karena desa tempat Ayu mengajar penduduknya seratus persen pemeluk Islam.

Ayu langsung teringat sejarah kelam yang pernah menghantam bumi Maluku lebih dari satu dekade. Kala terjadi konflik horizontal yang menjalar ke berbagai daerah dan memakan banyak korban, termasuk ke desa tempat Ayu mengajar. Murid-murid Ayu bahkan belum lahir ketika kerusuhan itu terjadi, tapi kebencian tersimpan di dalam hati mereka, bagaikan harta yang diwariskan turun-temurun.

Padahal, keanekaragaman di Indonesia tidak seharusnya menjadi sumber masalah, pikir Ayu. Kebhinnekaan di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Dan untuk menghargainya tidak bisa hanya dengan membaca buku Pendidikan Kewarganegaraan. Toleransi harus dialami dan dirasakan.

Ayu ingin anak-anak Indonesia menghargai perbedaan dengan mengalami dan merasakan perbedaan itu sendiri. Seperti Ayu yang juga pernah belajar bertoleransi ketika hijrah ke luar negeri untuk mengikuti pertukaran pelajar. “Hidup jauh dari rumah itu meluaskan cakrawala dan mengubah hidup,” kata Ayu yang kemudian menggagas SabangMerauke bersama Dyah Widiastuti, dan Aichiro Suryo Prabowo.

Mereka bersama tim perumus kemudian menyusun kurikulum yang merupakan kegiatan yang dilaksanakan ASM selama di Jakarta. Kurikulumnya diturunkan dari tiga nilai, yaitu pendidikan, toleransi dan keindonesiaan. “Dampak program ini mungkin tidak besar, hanya sepuluh anak tiap tahun. Apakah bisa membawa perubahan? Tapi yang akan besar adalah dampak gerakannya,“ kata Ayu optimis.

Dampaknya akan muncul di para KSM, FSM dan ASM. Bayangkan, apa yang akan terjadi di desa anak-anak yang ikut SabangMerauke? Anak ini akan menjadi jendela kemajuan dan menginspirasi temannya untuk berani bermimpi”. Karena menjaga mimpi anak-anak Indonesia berarti menjaga cita-cita para pendiri bangsa,” ujar Ayu.

-Tulisan tentang gerakan SabangMerauke in ditulis oleh Birgitta Ajeng di Majalah Intisari edisi Februari 2014 dengan judul asli Hidup Serumah Selami Perbedaan-

-selesai-