Penulis
Intisari-Online.com — Seusai melahirkan seharusnya menjadi momen berharga bagi seorang ibu dan keluarga. Namun, tidak demikian halnya bila ibu melahirkan mengalami emboli udara. Emboli udara adalah kondisi masuknya udara ke dalam pembuluh udara, dan menimbulkan gelembung. Gelembung ini berisiko menghambat pasokan oksigen yang diedarkan ke seluruh tubuh. Akibatnya, sel-sel dalam tubuh akan mengalami kerusakan dan kematian, akibat kurangnya pasokan oksigen. Ibu melahirkan yang mengalami emboli udara tidak akan bertahan lama hingga akhirnya menjemput maut. Hal inilah yang terjadi pada Julia Fransiska Makatey (25), yang diduga menjadi korban akibat malapraktik di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof DR RD Kandow Malalayang, Manado, pada 2010.
Setelah dilakukan proses otopsi diketahui adanya gelembung udara pada pembuluh darah di bilik kanan jantung wanita tersebut. Adanya gelembung udara menghambat darah mengasup oksigen dari paru-paru. Akibatnya, darah menjadi kekurangan oksigen sehingga tidak mampu memberi cukup pasokan oksigen pada organ lain di seluruh tubuh. Hal ini ditandai darah korban yang berwarna gelap, tidak merah seperti biasanya. "Warna gelap merupakan tanda darah kekurangan oksigen. Korban hanya bertahan 20 menit seusai proses kelahiran melalui operasi caesar. Meski ibu meninggal, bayinya tetap lahir selamat," kata Kepala Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP Prof DR RD Kandow, dr Freddy Wagey SpOG.
Lebih lanjut Freddy mengatakan, kasus ini sangat jarang terjadi. Freddy sendiri baru 2 kali mengetahui kasus emboli udara sepanjang kariernya selama 30 tahun. Emboli udara, kata Freddy, bukanlah kondisi yang bisa diprediksi. Kondisi ini bisa terjadi kapan saja tanpa pandang bulu. "Tidak ada kondisi atau faktor risiko apa pun yang menyatakan seorang ibu hamil lebih rentan menderita emboli dibanding yang lain. Kondisi ini sama sekali tidak bisa diperkirakan," katanya. Hal ini, kata Freddy, dapat dilihat dari kondisi korban saat masuk ke kamar operasi. Korban, menurut Freddy, memiliki tekanan darah, level gula, dan detak jantung yang baik. Dengan kondisi fisik yang baik, seharusnya operasi bisa berjalan sukses dan ibu serta bayi bisa kembali dalam kondisi sehat. Namun tanpa diketahui, terjadilah emboli udara yang kemudian merenggut nyawa ibu. "Emboli sendiri baru diketahui usai pembedahan mayat dan diketahui adanya gelembung dalam jumlah besar. Kondisi emboli tidak menjadi kesalahan dokter atau pasien, semata faktor alam yang menyebabkan udara bisa begitu saja masuk ke pembuluh darah," kata Freddy. Mengenal berbagai emboli Udara bukan satu-satunya penyebab gelembung yang berisiko menghambat asupan oksigen pada tubuh melalui darah. Emboli juga bisa disebabkan air ketuban dan lemak, dengan peluang hidup ibu yang sama rendahnya. Emboli akibat air ketuban, walau sedikit, bisa menimbulkan reaksi alergi yang mengancam nyawa ibu. "Kasus emboli sangat jarang terjadi. Di Amerika kasus ini memiliki pervelensi 1 dari 80 ribu-100 ribu. Hampir 90 persen ibu yang mengalami emboli akan berakhir dengan kematian, walau pertolongan sudah dilakukan selekas mungkin," kata spesialis kebidanan dan kandungan dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, dr Andon Hestiantoro, SpOG (K). Lebih lanjut Andon menjelaskan, peluang hidup ibu yang mengalami emboli hanya 5 persen. Kendati begitu, hampir 75 persen ibu yang hidup mengalami cacat seumur hidup atau stroke. Meski begitu, Andon mengatakan, emboli dapat dihindari. "Sedapat mungkin lakukan proses kelahiran normal. Makin sedikit pembuluh darah yang luka atau sobek, semakin kecil risiko menderita emboli. Dalam operasi, pembuluh darah yang luka sangat banyak sehingga peluang terjadinya emboli semakin besar," ujarnya. Tentu saja untuk menjalani proses kelahiran normal, ibu hamil harus rajin memeriksakan kandungan. Frekuensi menjadi makin sering saat sudah mendekati hari perkiraan kelahiran (HPL), sedikitnya seminggu sekali.
Selajutnya, konsultasikan dengan dokter kandungan proses kelahiran apa yang sebaiknya dijalani, tentunya dengan memperhitungkan, antara lain, ukuran panggul ibu dan lingkar kepala bayi. (Rosmha Widiyani-kompas.com)