Penulis
Intisari-Online.com – Tulang kerap dipersepsikan sebagai bagian terkuat yang menyusun rangka dan struktur. Meski memang begitu adanya, ternyata hal ini tidaklah berlaku sama. Terutama pada penderita kerapuhan tulang (ostogenesis imperfecta/OI).
Tulang para penderita OI sangat tipis dan rapuh serta memiliki kepadatan mineral yang rendah. Tulang penderita OI umumnya sangat mudah patah di lokasi manapun tanpa adanya benturan. Hal ini dikarenakan minimnya produksi kolagen yang merupakan penyusun tulang akibat mutasi gen. Akibatnya penyakit ini tidak bisa disembuhkan dan terus berlangsung seumur hidup.
Selain tulang yang mudah patah, OI memiliki beberapa gejala penentu lainnya. “Biasanya sklera (bagian putih mata) penderita berwarna biru atau abu, penderita juga mengalami gangguan petumbuhan gigi, otot, sendi, pendengaran, dan berperawakan pendek,” kata ahli kesehatan tulang dari Royal Children Hospital, Melbourne, Australia, Dr. Margaret Zacharin. Warna sklera mata merupakan akibat dari minimnya produksi kolagen.
Diagnosa OI tentunya hanya bisa dilakukan dokter naik ortopedi maupun endokrinologi anak. Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan wawancara medis, mengetahui riwayat patah tulang, melihat kondisi fisik pasien, dan pengecekan genetika molekuler. Diagnosis ini baru bisa ditegakkan umumnya saat pasien berumur 1 tahun, dan biasanya sudah mengalami patah tulang. Hal ini juga biasanya didului kesalahan diagnosis.
Menurut Margaret, kesalahan diagnosis kemungkinan dikarenakan para dokter yang belum mengenali gejala OI. Sayangnya, kondisi ini didukung pengetahuan minim yang dimiliki masyarakat.
“Masyarakat Indonesia menganggap tulang rapuh pada usia anak merupakan hal yang wajar dan akan kuat dengan sendirinya saat usia pubertas. Pengetahuan ini ternyata juga diyakini sebagian dokter. Padahal patah tulang, apalagi yang terjadi beberapa kali saat masih usia anak, patut diwaspadai,” kata Margaret.
Hal serupa dikatakan pakar endokrin anak dari RS. Cipto Mangunkusumo, dr. Aman B. Pulungan Sp.A(K). Menurutnya, pengetahuan yang minim ditambah kasus yang sampai saat ini belum terdata jumlahnya, menyebabkan masyarakat dan sebagian tenaga kesehatan awam pada kasus OI. Kasus OI memiliki sebaran 1 per 20 ribu, maka dengan jumlah anak Indonesia 80 juta jiwa kemungkinan terdapat 4 ribu kasus OI di Indonesia.
Namun Aman berpendapat, jumlah tersebut mungkin tidak mencakup semua kasus OI. Karena minimya pengetahuan yang dimiliki masyarakat dan tenaga kesehatan. Padahal jika mendapat penanganan sejak dini, penderita OI bisa hidup lebih lama dan memiliki keturunan.
“Setidaknya ada dua hal yang menandakan OI, yaitu patah tulang di tempat yang tidak semestinya dan tidak didului tubrukan terlebih dulu. Bila dua hal ini terjadi sebaiknya segera konsultasikan ke dokter untuk memperoleh penanganan,” kata Aman.
Terapi sejak dini memungkinkan koreksi struktur dan kerapatan tulang sebelum puber, sehingga bisa tumbuh lebih sehat ketika dewasa. Beberapa terapi yang dijalani adalah pemberian biphosphonat untuk memperbaiki struktur tulang dan gerak supaya otot penderita tidak lemah. (Rosmha Widiyani/kompas.com)