Transplantasi Ginjal dengan Teknik Laparoskopi

K. Tatik Wardayati

Penulis

Transplantasi Ginjal dengan Teknik Laparoskopi

Intisari-Online.com - Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menyebutkan bahwa risiko penyakit ginjal kronik (PGK) adalah penderita hipertensi sebanyak 31,7% dari jumlah penduduk Indonesia usia dewasa dan saat ini usia penderita hipertensi semakin muda. Tercatat, penderita hipertensi termuda di usia 18 tahun. Diabetes Mellitus (DM), penyakit infeksi saluran kemih berulang, batu ginjal, dan saluran kemih, serta radang penyakit ginjal dan penyakit lupus pun dapat menyebabkan PGK.

Apabila sudah terjadi PGK, maka yang harus dilakukan adalah manajemen yang baik, dengan cara mengatasi atau mencegah agar tahapan penyakit ini tidak meningkat. Tidak sampai pada tahap 5 (penyakit ginjal terminal) sehingga harus dilakukan hemodialisa, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal.

Transplantasi ginjal merupakan cara penanganan gagal ginjal yang paling ideal karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal, sementara dialisis hanya mengatasi sebagian jenis penurunan fungsi ginjal. Meskipun untuk ini tidak mudah mendapatkan donor ginjal. Teknik laparoskopi merupakan teknik yang memberikan kenyamanan bagi pendonor sehingga tidak perlu khawatir terhadap hasil yang dicapai pasca-operasi karena dapat menurunkan rasa kesakitan, pemulihan yang lebih cepat, dan hasil jahitan yang lebih baik dan rapi.

“Sebuah rumah sakit dapat dikategorikan maju bila telah mampu melakukan transplantasi (apapun transplantasinya) secara teratur karena transplantasi memerlukan kerjasama tim yang baik dalam berbagai bidang,” jelas Dr. dr. Nur Rasyid, Sp.U, Ketua Departemen Urologi RSCM-FKUI dalam sebuah konferensi pers kesuksesan RSCM melakukan 100 transplantasi ginjal dengan teknik laparoskopi dalam 2 tahun.

Teknik laparoskopi dilakukan RSCM sejak November 2011, yang merupakan laparoskopi tingkat advanced. Karena laparoskopi pada umumnya hanya dilakukan untuk mengangkat jaringan untuk dibuang (seperti tumor), sementara pada laparoskopi transplantasi, jaringan yang diambil harus tetap baik karena akan digunakank kembali oleh recipient (penerima organ donor). Proses laparoskopi transplantasi ginjal memiliki keterbatasan waktu yaitu sejak pembuluh darah diikat sampai keluar harus dibawah 10 menit. RSCM mampu melakukan hal tersebut rata-rata dibawah 5 menit.

Laparoskopi adalah teknik dengan menggunakan alat khusus sebagai pengganti tangan dokter saat melakukan pembedahan di dalam tubuh manusia. Dokter melakukan pembedahan dengan melihat ke layar monitor yang berhubungan dengan kamera kecil yang dimasukkan ke dalam tubuh. Sebuah titik kecil di perut bagian atas dilakukan untuk memasukkan kamera ini.

Setelah itu dilakukan sedikit sayatan mirip operasi caesar yang dilakukan untuk mengeluarkan ginjalnya. Tapi pada recipient (si penerima donor), operasi tetap dilakukan secara terbuka karena harus menyambung pembuluh darah.

Keuntungan bagi pendonor adalah mengurangi rasa nyeri pasca operasi, mengurangi lama perawatan di RS, jumlah darah yang hilang lebih sedikit ketika operasi, masa penyembuhan yang lebih cepat, kosmesis yang lebih baik, dan pasien dapat kembali beraktivitas lebih cepat. Tingkat keberhasilan dengan teknik laparoskopi ini baik sekali, sehingga pasien dapat pulang pada H+3 hingga H+4. Demikian penjelasan dari dr. Chaidir A. Mochtar, SpU, Ph.D, Ketua Ikatan Ahli Urologi Indonesia.

RSCM berharap semakin banyak orang yang mau menjadi pendonor ginjal sehingga pasien yang mengalami gagal ginjal dan sudah harus hemodialisa bertahun-tahun dapat kembali hidup normal dan produktif. Ginjal donor selama ini dilakukan terhadap pendonor hidup, karena itu ke depannya diharapkan ada kebijakan dari pemerintah untuk dilakukan pada pendonor mati. Artinya organ ginjal dapat diambil dari jenazah yang baru saja berhenti jantungnya atau mati batang otak.