Find Us On Social Media :

Misteri Ramalan: Alasan Bola Kristal Digunakan untuk Meramal

By K. Tatik Wardayati, Senin, 2 Februari 2015 | 18:30 WIB

Misteri Ramalan: Alasan Bola Kristal Digunakan untuk Meramal

Intisari-Online.com – Bagaimana ramalan dengan bola kristal yang cukup populer itu? Diduga metode ini berakar dari kebiasaan purba: mengandalkan kekuatan pantulan. Cermin ramal Sang Ratu dalam kisah Putri Salju, misalnya.

Masyarakat Yunani kuno juga menggunakan permukaan air tenang, yang nantinya diganti cermin, sebagai alat mencapai trance. Memang tiap permukaan benda mengkilat dianggap bisa mengakibatkan trance sementara. Tak heran bila prajurit Timur Tengah punya tradisi menggunakan kilap permukaan pedang untuk tujuan serupa.

Untuk melihat nasibnya, masyarakat Yunani kuno mencoba menangkap kekuatan pancaran cahaya mata air dengan memasang rendah cermin di permukaan air. Caranya, dijelaskan oleh perwira Yunani Pausanias (470 - 465 SM) dalam Deskripsi tentang Yunani: gantung cermin dengan tali lalu  mendekatkannya ke permukaan air, namun jangan sampai tercelup. Setelah berdoa dan membakar dupa, tengok ke dalam cermin. Cermin akan segera menampilkan perkembangan keadaan seseorang yang sakit, apakah sembuh atau malah meninggal.

Tak kurang dari peramal dan tabib terkenal dari abad XVI Nostradamus atau Michel de Nostredame juga menggunakan air dan cermin. Dalam Encyclopaedia of Religion and Ethycs, Andrew Lang memberikan penjelasan penggunaannya. "Dalam praktik, cara termudah adalah mengkonsentrasikan pikiran, menatap selama lima menit bola kristal atau kaca yang diletakkan di atas permukaan berwarna gelap pada jarak normal orang membaca buku. Jika si 'pembaca' punya kemampuan, ia akan melihat semacam kabut atau asap menyelimuti bola. Beberapa menit kemudian menjadi jernih dan menghitam, lalu muncullah gambar. Kadang bola lenyap karena pembaca merasa seakan melihat pemandangan nyata."

Ahli membaca pikiran

Di balik pandangan positif terhadap ramalan, muncul praduga bahwa ramalan adalah akal-akalan untuk menyedot uang belaka. Salah satu modal tipu-tipuan ini adalah kemampuan untuk membaca pikiran. Peramal gadungan sangat terampil dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang provokatif. Dari penilaian sekilas, ia mampu mengutarakan apa yang sebenarnya ingin didengar klien.

Metode ini bahkan pernah dianalisis oleh Dr. Ray Hyman, psikolog dari Universitas Oregon, AS. Penelitiannya menunjukkan mahasiswa (objek penelitiannya) senang bila diberi tahu sebagai, "Orang yang berkepribadian normal. Mudah bergaul dan biasanya orang gampang suka pada Anda. Anda bukan orang suka mengkritik diri sendiri maupun orang lain. Anda bukan orang yang kuno atau egois. Anda sangat bersikap optimis, senang maju, dan suasana hati Anda tidak mudah terganggu oleh depresi, psikosomatis, atau gelisah."

Sedangkan mahasiswi lebih suka dikomentari sebagai, "Orang yang periang, seimbang. Mungkin sering mengalami pergantian perasaan gembira atau sedih, meski sekarang itu tidak sedang terjadi. Sedikit, bahkan tidak punya masalah kesehatan. Orang sosial dan mudah bergaul dengan banyak orang. Mudah menyesuaikan diri. Suka berpetualang. Banyak minat. Cukup kuat percaya diri dan berpikir dengan jernih." Padahal kedua penilaian itu cuma pura-pura, hasil rekaan rekan kerjanya, Norman D. Sundberg.

Bahkan Sundberg menemukan, "Klien lebih menyukai gambaran universal yang palsu tentang dirinya, ketimbang penjelasan dari psikolog terlatih dengan perangkat penilaian terbaik."

Namun, seni meramal ternyata tak kurang sumbangsihnya pada pengembangan metode ilmiah. Pada dua masyarakat yang terlacak sebagai akar peradaban modern, yaitu Cina dan Mesopotamia, ramalan terus dimanfaatkan oleh kelompok yang cukup terpelajar. Mereka tidak sekadar mengembangkan ritus, tapi juga menyusun struktur awal untuk memprediksi kejadian penting yang bakal menimpa masyarakat. Pencarian itu kemudian mendorong lahirnya kebiasaan mengobservasi, mencatat, mengkalkulasi, dan menganalisis. Ramal-meramal ternyata membantu menciptakan kerangka sebab-akibat yang nyata.

Sedangkan menurut Dr.- George K. Park dalam Journal of the Royal Anthropological Institute tentang ramalan dan konteks sosialnya, beberapa sistem sosial masih tergantung pada hasil ramalan. Masih banyak masyarakat tergantung pada ramalan, bukan melulu karena masih percaya takhayul. Berkonsultasi dengan peramal adalah sarana untuk memancing sebanyak mungkin opini dari orang yang dituakan di lingkungannya, sampai ditemukan jalan keluar yang kedengaran paling praktis dan tepat.

Ramalan bisa bertahan sampai sekarang karena universalitasnya dan kemampuannya menjawab keinginan dasar manusiawi: mengetahui masa depan atau mengontrol nasib seseorang.