Find Us On Social Media :

Hari Film Nasional: Sejarah Sinematek Indonesia dan Pengorbanan Nani Wijaya

By Moh Habib Asyhad, Senin, 30 Maret 2015 | 15:00 WIB

Hari Film Nasional: Sejarah Sinematek Indonesia dan Pengorbanan Nani Wijaya

Intisari-Online.com - Sinematek Indonesia didirikan tahun 1975. Namun kisah berdirinya Sinematek atau perpustakaan dan kearsipan film itu, yang kini menyimpan lebih dari 3.000 judul film Indonesia sejak film Loetoeng Kasaweng (L. Heuveldorp, 1926) sampai Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008) dalam ruang pendingin di bawah tanah bersuhu 5° - 7°C tersebut, tidaklah seindah yang dibayangkan. Banyak hal yang harus dikorbankan.

Gagasan tentang pusat dokumentasi film di benak Misbach, tampaknya semula muncul secara "naluriah" saja pada 1970. Seperti dapat diikuti dari pengakuan berikut:

Singkat cerita, alih-alih Misbach hanya usul, ternyata ia didaulat untuk bertanggung jawab terhadap gagasan pentingnya pusat dokumentasi itu. Sebagai Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, kini IKJ), Asrul Sani dapat mengusahakan dana Rp20.000 bagi Misbach guna memborong foto-foto koleksi Boes Boestami.

Apa lacur, ternyata dokumentasi milik Pak Boes sudah habis dijual kepada orang-orang film. Kepada siapa saja foto-foto kuno itu beliau jual, isterinya tidak tahu, yang tersisa di rumah cuma satu besek kecil foto-foto rusak di kolong lemari. Itu adalah foto-foto adegan film tahun 1950-an ukuran 6 x 9 cm atau lebih kecil. Sebagian besar sudah terkelupas di sana-sini.

"Saya jadi lemas," kenang Misbach, "uang LPKJ ternyata hanya berguna sebagai sumbangan. Ini menjadi tanggungjawab saya yang berat."

Betapapun, foto-foto dalam besek itulah modal pertama lembaga dokumentasi film pada akhir 1970, ketika Misbach mendapat ruang kosong di dekat kantor Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang menurutnya hanya berisi, "Lemari-lemari buku kosong, meja baca, dan debu.

Dengan subsidi Rp5.000 per bulan Misbach mulai bekerja. Tentu saja tanpa gaji. Padahal isterinya, bintang film Nani Wijaya, yang penghasilannya lumayan untuk "mendukung" idealisme Misbach, sedang tak bisa bekerja karena mengandung anak ketiga. Ajip Rosidi masih ingat, Nani Wijaya sampai berjualan sirop agar keluarganya bertahan hidup.

Kita ikuti dalam kalimatnya sendiri perjuangan Misbach yang mengharukan.

Di sebuah negeri yang 99,9 % penduduknya sampai tahun 2009 masih akan bertanya, "Apa itu Sinematek?", wajarlah jika Misbach merasa dirinya bagai Don Kisot, yang berperang dengan apalagi namanya jika bukan kepala batu kebodohan.