Penulis
Intisari-Online.com -Manfaat pertama berdirinya Sinematek Indonesia segera berguna bagi Misbach Yusa Biran sendiri, yang untuk sementara melepaskan segenap peluangnya sebagai penulis skenario dan sutradara film. Misalnya bahwa segala dokumen yang dihimpunnya, bisa digunakan untuk menulis garis besar sejarah film Indonesia sampai tahun 1950, dan dengan data itu pun bisa mulai dikumpulkan judul-judul film Indonesia sejak film pertama.
Misbach juga pun diminta mengajarkan Sejarah Film Indonesia di Akademi Sinematografi (kini Fakultas Film dan Televisi IKJ), padahal sebelumnya ia di sana justru bermaksud jadi mahasiswa!
Dengan bahan yang sama, sejarawan kelas dunia Denys Lombard melakukan penelitian awal tentang perfilman Indonesia, dan mengulasnya untuk jurnal ilmiah L'Archipel yang prestisius itu. Sebagai balas jasa, Denys Lombard menyerahkan uang AS$100. Dengan uang itu Misbach bisa menambah tenaga pembantu, Slamet Siahaan, seorang penjual tiket Kine Klub yang tertarik dengan foto-foto tua, yang dibayar Rp2.500 per bulan, untuk kerja paruh waktu antara pukul 12.00 - 15.00.
"Dengan catatan, kalau uang yang AS$100 habis, maka Slamet harus berhenti tanpa uang pesangon. Slamet setuju saja," kisah Misbach, lagi.
Bahwa Sinematek mulai dirintis pada masa kerja Gubernur Ali Sadikin, memang merupakan keuntungan tersendiri, karena Bang Ali sadar betul bahwa pembangunan Jakarta harus juga merupakan pembangunan mental dan intelektual. Itulah masa didirikannya Akademi Jakarta, lembaga para "empu" yang menjadi penyangga visi kebudayaan; Dewan Kesenian Jakarta,
yang untuk duapuluh tahun berikutnya memberi pengaruh besar pada perkembangan seni modern Indonesia; dan Institut Kesenian Jakarta yang untuk pertama kalinya menggabungkan segenap cabang kesenian, modern maupun tradisional, dalam satu kampus. Semasa Orde Baru, Taman Ismail Marzuki menjadi satu dari sedikit "suaka" kebebasan, tempat kritik sosial politik bisa disuarakan dengan keras. Pada 1978, penyair Rendra dilempar granat asap ketika sedang membacakan puisi-puisi pamfletnya di situ.
Sinematek tumbuh dalam semangat pembangunan intelektual seperti itu. Ali Sadikin membuktikan kata-katanya dengan memberi dana untuk membeli segenap peralatan kuno milik Wong Brothers yang bernilai sejarah. Sinematek segera diakui, tetapi bukan oleh pemerintah Republik Indonesia, melainkan dunia internasional, meski pengakuan tidak berarti memberi uang.
Betapapun Sinematek Indonesia merupakan anggota Federasi Internasional Arsip Film (FIAF) pertama dari Asia Timur. Ketika Misbach dibiayai Ali Sadikin lagi untuk hadir di Brighton, Inggris, dalam Kongres FIAF, dialah orang Asia pertama yang mengikutinya. Ketika UNESCO pada 1981 menetapkan bahwa arsip film sangat penting didirikan setiap negara anggota PBB, ternyata Misbach pada 1980 membantu persiapan teks rekomendasinya.
Komentar Misbach sendiri, "Anda lihat enaknya jadi rakyat negara berkembang. Orang yang baru meraba-raba mengenai arsip film saja sudah dianggap sebagai ahli."
Dengan segala keterbatasan, Sinematek Indonesia menjadi satu-satunya rujukan dunia internasional jika ingin mengenal film Indonesia maupun segala sisi Indonesia itu sendiri melalui film. Ingin tahu film Indonesia pertama dengan adegan cium? Bisa disaksikan Antara Bumi dan Langit (Huyung, 1950) yang skenarionya ditulis pengarang Belenggu, Armyn Pane. Di sana bukan hanya ada film, tetapi segala sesuatu yang berhubungan dengan film, sehingga jika kita lacak kliping koran dan majalah sekitar film tersebut, kita akan tahu betapa film yang dibintangi S. Bono dan Grace itu terganyang gelombang protes, dan setelah direvisi beredar dengan judul Frieda.
Juga akan sangat menarik riwayat sutradaranya, Huyung, seorang dokter anggota militer Jepang keturunan Korea (aslinya Hue Yong, nama Jepangnya Hinatsu Eitaro) yang semula mendapat tugas "menguasai" dunia sandiwara Indonesia semasa pendudukan Jepang. Seperti tercatat kembali dalam Katalog Film Indonesia yang dihimpun J.B. Kristanto, alih-alih disuruh "menjajah" Huyung justru menyebarkan pengetahuan teater dan film, antara lain kepada Usmar Ismail, yang kemudian diakui sebagai "bapak" perfilman Indonesia, karena film-film seriusnya yang menegakkan identitas Indonesia sejak awal kemerdekaan. Pengetahuan penting semacam ini bisa dilacak dari koleksi data Sinematek.
Sampai hari ini, usaha melengkapi data masih terus dilakukan, dengan catatan sejauh dana Sinematek sendiri memungkinkannya. Film-film baru misalnya, jelas sangat tergantung kepada mereka yang sadar akan kedudukan film sebagai artefak kebudayaan, terutama bagi berbagai penelitian pada masa depan.
Produser film seperti Mira Lesmana atau Nia DiNata jelas paham dengan vitalnya fungsi dokumentasi, dan film-film mereka tersimpan dengan baik di sana, tetapi yang "sekadar pedagang" tentu bisa dimaklumi jika bahkan menyebutkan Sinematek saja masih bletak-bletuk. Nah, apakah Sinematek harus membeli seluruh film-film Indonesia dengan uang patungan para pegawainya?Artikel ini pernah ditulis di Intisari edisi Juli 2009 dengan judul "Sinematek Indonesia, Kebanggaan yang Diterlantarkan".