Find Us On Social Media :

HOS Tjokroaminoto Ternyata Tak Becus Mengatur Uang

By Moh Habib Asyhad, Jumat, 10 April 2015 | 18:45 WIB

HOS Tjokroaminoto Ternyata Tak Becus Mengatur Uang

Intisari-Online.com - HOS Tjokroaminoto adalah pemimpin nasional yang paripurna. Asas perjuangannya yang profesif tidak saja di bidang politik dan sosial-ekonomi, juga dalam bidang pendidikan. Pendidikan dari Sekolah Dasar sampai Universitas menjadi perhatiannya. Ini pernah ditulisnya panjang lebar dari Moeslim Nationaal Onderwijs dan dikemukannya dalam Kongres PSII (perubaha SI) 1925.

Bersama dengan K.H.M Mansur pada 1976 itu, Tjokro menghadiri muktamar di Mekahsebagai wakil Kongres Al Islam Indonesia atas undangan Ibn Saud yang baru saja berhasil menaklukkkan seluruh jazirah Arab. Rupanya alim ulama seluruh dunia yang berkumpul di sana terkesan oleh pribadi Tjokro. Sebab seorang mufti dari Palestina yang menghadiri muktamar itu menyatakan hal yang sama tatakal ulama itu berkunjung ke Indonesia menghadiri Konperensi Asia Afrika I di Bandung pada 1955.

Rakyat pedalaman pun sampai ke lereng-lereng gunung terkesan oleh pejuang nasional itu. Ini dibuktikan dari pengalaman seorang petugas agama di Bali yang berkunjung ke pedalaman dan di sana menjumpai orang-orang tua yang dengan gairah menuturkan pertemuan mereka dengan Tjokro.

Sekali waktu, SI mengadakan rapat umum. Di tengah hadirin ternyata ada beberapa pengacau. Setiap kali ada orang pidato, mereka berganti-ganti menirukan suara binatang. Tjokro tak sabar, ia berdiri serta berteriak: “Diam!” Cep, semuanya bungkam. Di samping seorang orator, suka juga ia menari. Kegemarannya berperan sebagai Hanuman yang bertanding melawan Rahwana. Rahwana ibaratnya kolonialisme dan kapitalisme, Hanuman ksatria yang mengenyahkannya.

Anak-anaknya diberi pendidikan agama dan kesenian. Semua ada 5 orang: Siti Utari, Anwar, Harsono, Siti Islamijah, dan Sujud Achmad. Sebagai seorang ayah, ia memberikan contoh disiplin yang keras. Di rumahnya pun pakainnya selalu rapi, juga kalau keluar dari kamar tidur dan kamar mandi. Tak pernah duduk dengan tumpang kaki. Serba teratur, tetapi bukan dibuat-buat. Kopiah tak pernah lepas dari kepalanya, katanya: “Aku merasa seperti orang hilang kalau tak memakai ini.”

Tjokro dikecam tak pandai mempergunakan uang. Ini adal hubungannya dengan peristiwa sewaktu ia memimpin harian Utusan Hindia. Uang harian itu habis karena dipinjamkan kepada seorang kawan yang berjanji akan segera mengembalikannya. Dari sudut bisnis, tentulah salah perbuatannya, tetapi dari segi perikemanusiaan bagaimana?

Penyakit ginjalnya semakin lama semakin parah. Lama penyakit itu tak mengurangi kegiatannya bekerja baik di rumah atau keliling cabang. Sampai akhirnya terpaksa terpaut di atas tempat tidur karena semakin parah. Beberapa waktu sebelum meninggal, sering ia berpesan kepada puteranya. Pesan itu kini dianggap sebagai warisan bagi kita semua.

Pertama, lerena mangan sakdurunge wareg (berhentilah makan sebelum kenyang). Artinya, orang hidup harus menahan nafsu, tidak memenuhi semua keinginan hati sepuas-puasnya, apalagi keinginan hati yang nyeleweng. Kedua, gunakanlah 5 menit! Tiap-tiap malam buat membulatkan pikiran. Merenung untuk introspeksi. Tidaklah ini sama dengan istilah “think and rethink, shape and reshape” dari Bung Karno?

Amanat kegita berupa pertanyaan: bagaimana caranya supaya bisa bersih sebelum wudhu? Menurut hukum Islam, orang baru bersih untuk sembahyang setelah wudhu, tetapi di sini ditanyakan: bersih sebelu wudhu. Berarti, setiap orang apalagi pemimpin rakyat wajib selalu bersih jiwanya agar berhasil perjuangannya.