Penulis
Intisari-Online.com – Tradisi Jawa yang satu ini sering kali membawa mereka yang percaya pada keadaan dilematis psikologis. Kegelisahan batin akan mengusik jiwa mereka jika upacara ruwatan untuk keselamatan anaknya tidak dilaksanakan. Sementara pelaksanaannya butuh biaya tidak sedikit. Masih perlukah tradisi Jawa ruwatan sebagai ungkapan kepasrahan diri ini dilestarikan?
--
“Kalau Anda hanya memiliki seorang anak, perempuan atau laki-laki, berhati-hatilah. Bukan karena dia satu-satunya putra penerus generasi yang harus dijaga segala sesuatunya, melainkan karena sebab lain. Menurut konsep kepercayaan masyarakat Jawa zaman dulu, anak tersebut merupakan jenis anak sukerto alias anak yang "tidak membawa keberuntungan". Atau bahkan terancam jiwanya sehingga perlu diruwat atau disucikan untuk menghindari ancaman mangsa Betara Kala. Anak tunggal biasa disebut ontang-anting jika ia laki-laki, dan unting-unting kalau ia perempuan.
Demikian pula bila Anda mempunyai lima anak semuanya laki-laki, dan disebut pendawa lima. Mereka juga perlu diruwat supaya selamat. Pasalnya, anak-anak semacam itu konon merupakan anak "panas" dan harus diselamatkan dengan cara menyelenggarakan upacara yang disebut ruwatan.
Di samping pendawa lima dan ontang-anting, anak kembar baik lelaki atau perempuan (dampit), ataupun tiga bersaudara dengan anak perempuan di tengahnya (disebut sendang kapit pancuran) juga perlu diruwat. Masih banyak lagi kriteria "anak panas" atau sukerto yang perlu diruwat.
Kecuali itu masih ada orang atau anak yang dianggap sukerto karena perbuatan lalai yang pernah dilakukannya. Misalnya, anak yang dengan sengaja atau tidak telah mematahkan. Sebuah gandhik (batu giling) ataupun pipisan (batu landasan pelumat jejamuan), atau anak yang memecahkan periuk. Lalu juga, bayi yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari (Julung wangi)atau tenggelamnya matahari (Julung pujud). Mereka juga harus diruwat agar terhindar dari bahaya yang mengancam diri ataupun lingkungan sekitarnya.
Bahaya yang mengancam keselamatan anak-anak atau orang seperti itu, konon, dapat berupa penderitaan fisik, misalnya sakit-sakitan, ataupun yang bersifat psikis. Gangguan atau cobaan tersebut dipersonifikasikan sebagai Betara Kala. Menurut konsep kepercayaan Jawa, Dewa Kala adalah penguasa segala jenis makhluk halus di tanah Jawa. Satu-satunya cara agar bisa selamat dari ancaman makhluk jahat itu hanyalah dengan upacara ruwatan.
Ruwat dan pembebasan
Ruwat, yang artinya pelepasan atau pembebasan dari malapetaka, itu menjadi kata sakral dan dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa hingga kini. Tak sedikit orang Jawa yang merasa gelisah hidupnya bila belum melaksanakan ruwatan terhadap anaknya yang termasuk sukerto. Ruwatan memang tradisi yang tak bisa ditawar bagi yang percaya.
Upacara ruwatan berbeda dengan upacara selamatan yang sering dilakukan banyak orang. Rangkaian upacara ini membutuhkan sarana prosesi yang lengkap, salah satunya pergelaran wayang kulit dengan lakon khusus Murwakala. Dengan demikian ruwatan sudah pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Sukerto dan ruwat adalah dua kata yang mempunyai hubungan sebab-akibat, dan karena itulah ia lalu menjadi beban bagi mereka yang percaya. Di satu sisi penyelenggaraan upacara ruwat butuh biaya yang tidak sedikit, di sisi lain kepercayaan itu menuntut perlunya penyelenggaraan upacara itu.
Karena kuatnya pada keyakinan itu, tidak jarang setiap kejadian kesusahan atau bencana rumah tangga seseorang, akan dikait-kaitkan dengan kehadiran anaknya yang sukerto dan belum diruwat. Slamet Riyadi contohnya. Ia mempunyai dua orang anak laki-laki, yang dalam tradisi Jawa disebut uger-uger lawang. Katanya, kedua anaknya sering bertengkar dan bikin susah orang tua sehingga keadaan keluarga tidak pernah tenteram. Slamet "tahu" sebabnya: kedua anaknya belum diruwat. Sudah sejak lama ia ingin melaksanakan upacara itu, tapi terbentur soal biaya. "Untunglah kami baca koran, di Yogya ada ruwatan masal. Kalau tidak, wah ... kami pasti tak akan mampu menyelenggarakannya sendiri," tuturnya.
Menurut Slamet, biaya untuk upacara ruwatan bisa sekitar Rp 4 juta, termasuk menanggap wayang kulit. Untunglah Lembaga Javanologi Panunggalan Yogyakarta mengadakan upacara ruwatan masal, sehingga Slamet cukup merogoh Rp 300.000,-. "Lega hati saya, beban seakan hilang. Semoga ruwatan ini mampu menghilangkan bencana yang menimpa keluarga kami," ujarnya berharap.
Slamet, pedagang asal Tegal itu, hanya salah satu dari 53 peserta ruwatan masal yang diadakan pada Juni 1993 di Yogyakarta. Ruwatan masal yang keempat sejak pertama kali diadakan pada September 1990 itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat dari berbagai daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Bahkan ada yang dari Jakarta dan luar Jawa. Rata-rata usia para peserta antara 5 dan 30 tahun.
Menurut H. Karkono K. Partokusumo, ketua lembaga tersebut, penyelenggaraan ruwatan masal ini untuk membantu meringankan beban biaya bagi masyarakat yang ingin meruwat, selain untuk melestarikan nila-nilai luhur tradisi nenek moyang. "Tradisi Jawa itu indah, sarat akan moral didaktis, maka perlu dirawat."
Meski demikian, Karkono tidak setuju kalau tradisi upacara ruwatan itu diadakan secara besar-besaran, atau direkayasa sedemikian rupa sehingga memberikan kesan mewah. "Yang penting adalah proses upacara berjalan khidmat agar para sukerto dapat berdoa khusuk mohon keselamatan kepada Allah."
--
Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Terawang di Majalah Intisari edisi September 1993 dengan judul asli Ruwat, Sebuah Ungkapan Kepasrahan Diri. Ditulis oleh koresponden Intisari B. Soelist.