Find Us On Social Media :

Tradisi Jawa Ruwatan Sebagai Ungkapan Kepasrahan Diri

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 6 Mei 2015 | 16:00 WIB

Tradisi Jawa Ruwatan Sebagai Ungkapan Kepasrahan Diri

Intisari-Online.com – Tradisi Jawa yang satu ini sering kali membawa mereka yang percaya pada keadaan dilematis psikologis. Kegelisahan batin akan mengusik jiwa mereka jika upacara ruwatan untuk keselamatan anaknya tidak dilaksanakan. Sementara pelaksanaannya butuh biaya tidak sedikit. Masih perlukah tradisi Jawa ruwatan sebagai ungkapan kepasrahan diri ini dilestarikan?

--

“Kalau Anda hanya memiliki seorang anak, perempuan atau laki-laki, berhati-hatilah. Bukan karena dia satu-satunya putra penerus generasi yang harus dijaga segala sesuatunya, melainkan karena sebab lain. Menurut konsep kepercayaan masyarakat Jawa zaman dulu, anak tersebut merupakan jenis anak sukerto alias anak yang "tidak membawa keberuntungan". Atau bahkan terancam jiwanya sehingga perlu diruwat atau disucikan untuk menghindari ancaman mangsa Betara Kala. Anak tunggal biasa disebut ontang-anting jika ia laki-laki, dan unting-unting kalau ia perempuan.

Demikian pula bila Anda mempunyai lima anak semuanya laki-laki, dan disebut pendawa lima. Mereka juga perlu diruwat supaya selamat. Pasalnya, anak-anak semacam itu konon merupakan anak "panas" dan harus diselamatkan dengan cara menyelenggarakan upacara yang disebut ruwatan.

Di samping pendawa lima dan ontang-anting, anak kembar baik lelaki atau perempuan (dampit), ataupun tiga bersaudara dengan anak perempuan di tengahnya (disebut sendang kapit pancuran) juga perlu diruwat. Masih banyak lagi kriteria "anak panas" atau sukerto yang perlu diruwat.

Kecuali itu masih ada orang atau anak yang dianggap sukerto karena perbuatan lalai yang pernah dilakukannya. Misalnya, anak yang dengan sengaja atau tidak telah mematahkan. Sebuah gandhik (batu giling) ataupun pipisan (batu landasan pelumat jejamuan), atau anak yang memecahkan periuk. Lalu juga, bayi yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari (Julung wangi)atau tenggelamnya matahari (Julung pujud). Mereka juga harus diruwat agar terhindar dari bahaya yang mengancam diri ataupun lingkungan sekitarnya.

Bahaya yang mengancam keselamatan anak-anak atau orang seperti itu, konon, dapat berupa penderitaan fisik, misalnya sakit-sakitan, ataupun yang bersifat psikis. Gangguan atau cobaan tersebut dipersonifikasikan sebagai Betara Kala. Menurut konsep kepercayaan Jawa, Dewa Kala adalah penguasa segala jenis makhluk halus di tanah Jawa. Satu-satunya cara agar bisa selamat dari ancaman makhluk jahat itu hanyalah dengan upacara ruwatan.

Ruwat dan pembebasan

Ruwat, yang artinya pelepasan atau pembebasan dari malapetaka, itu menjadi kata sakral dan dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa hingga kini. Tak sedikit orang Jawa yang merasa gelisah hidupnya bila belum melaksanakan ruwatan terhadap anaknya yang termasuk sukerto. Ruwatan memang tradisi yang tak bisa ditawar bagi yang percaya.

Upacara ruwatan berbeda dengan upacara selamatan yang sering dilakukan banyak orang. Rangkaian upacara ini membutuhkan sarana prosesi yang lengkap, salah satunya pergelaran wayang kulit dengan lakon khusus Murwakala. Dengan demikian ruwatan sudah pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Sukerto dan ruwat adalah dua kata yang mempunyai hubungan sebab-akibat, dan karena itulah ia lalu menjadi beban bagi mereka yang percaya. Di satu sisi penyelenggaraan upacara ruwat butuh biaya yang tidak sedikit, di sisi lain kepercayaan itu menuntut perlunya penyelenggaraan upacara itu.

Karena kuatnya pada keyakinan itu, tidak jarang setiap kejadian kesusahan atau bencana rumah tangga seseorang, akan dikait-kaitkan dengan kehadiran anaknya yang sukerto dan belum diruwat. Slamet Riyadi contohnya. Ia mempunyai dua orang anak laki-laki, yang dalam tradisi Jawa disebut uger-uger lawang. Katanya, kedua anaknya sering bertengkar dan bikin susah orang tua sehingga keadaan keluarga tidak pernah tenteram. Slamet "tahu" sebabnya: kedua anaknya belum diruwat. Sudah sejak lama ia ingin melaksanakan upacara itu, tapi terbentur soal biaya. "Untunglah kami baca koran, di Yogya ada ruwatan masal. Kalau tidak, wah ... kami pasti tak akan mampu menyelenggarakannya sendiri," tuturnya.