Penulis
Intisari-Online.com -Situasi Keraton Yogyakarta tengah menghangat. Apalagi kalau bukan soal perdebatan siapa pengganti Sri Sultan yang paling tepat. Terlepas dari itu semua, membicarakan Yogyakarta memang tidak pernah ada habisnya, apalagi jika sudah berhubungan dengan Kesultanan berikut penguasanya, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Intisari secara eksklusif pernah mengulas bagaimana Sang Raja Jawa itu begitu dicintai oleh rakyatnya.
Di tangannya Keraton Yogyakarta lebih berpihak pada rakyat. Ia memandang hampir setiap persoalan dari kacamata rakyat kecil. Lalu, seperti apa pemimpin masa depan republik ini?
Jika welas asih dan rendah hati adalah "tampak luar" Raja Mataram modern ini, maka kejujuran dan kesederhanaan adalah "tampak dalam" dirinya. Itulah kesan pertama saat menemui Raja Yogyakarta ini di Kepatihan Danurejan, suatu siang. Sri Sultan Hamengku Buwono X (HB X) yang ketika lahir pada 2 April 1946 diberi nama Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito ini mengakui, menonjolnya kesan itu mungkin pencerminan dari orangtua dan leluhurnya yang mengedepankan karakter menghargai orang lain.
Hakikatnya, seorang sultan itu personifikasi nilai keteladanan, kejujuran, dan keikhlasan sebagai bentuk kewajiban mengabdi rakyat. Ia wajib berpikir benar, berbicara benar, dan bertindak benar. Dalam posisinya sebagai raja, peran itu akan ia lakoni sampai wafat. Sementara sebagai gubernur, hanya lima tahun.
Kedua peran itu memiliki kewajiban yang sama, yakni menyejahterakan rakyat. Karenanya, “Saya bertekad akan melakukannya sampai mati,” tegas Sri Sultan yang setelah dewasa bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi ini.
Ia minta rakyat menegur dirinya jika ada kekurangan saat melakukan kewajiban, baik sebagai raja maupun gubernur.
Sang ayah, almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX, seakan guru baginya. Ia tak pernah memberinya keistimewaan, selain pembebanan tugas dan tanggung jawab berat yang dilimpahkan di pundaknya. Dari mulai mengelola manajemen keraton sehari-hari, sampai menyelamatkan pabrik gula Madukismo di Bantul yang diambang ambruk.
Dulu, ia merasa terbebani, tapi kini ia memahami hikmah penggemblengan sang ayah.
Tak banyak bicara, menyimpan teladan di balik tindakan, itulah potret ayah yang menancap dalam kenangannya. Almarhum tak mau menulis otobiografi, lantaran tak ingin menonjolkan ketokohannya dalam revolusi kemerdekaan.
“Sekarang, setelah saya menggantikan kedudukannya, barulah saya paham. Seorang pemimpin tak boleh mengharap imbalan dari rakyat.” Walau sekadar pujian sekalipun.
Pernah ditulis di Intisari edisi Februari 2004 dengan judul “Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat”