Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat: Lebih Memilih Mukti ketimbang Mulya

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat: Lebih Memilih Mukti ketimbang Mulya

Intisari-Online.com -Pernah, ketika Pemerintah RI ingin memberi gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum Sultan HB IX, pihak ahli waris diwajibkan mengisi formulir permohonan. “Saya menolak. Kalau pemerintah mau memberi penghargaan pada orangtua kami, silakan. Tapi kalau saya harus mengisi formulir permohonan, walau itu prosedural, saya tetap menolak, sebab kesannya kami minta penghargaan,” nada suara Sri Sultan Hamengku Buwono X si penggemar golf dan renang ini mengental tegas.

Ketegasan sikap si anak sulung ini telah dibaca jauh-jauh hari oleh Sultan HB IX. Sering terjadi dialog - dalam bahasa Indonesia, agar pupus kesenjangan ayah dan anak - tentang segala peristiwa di Tanah Air. “Beliau menanyakan sikap politik atau visi saya. Terjadilah pendewasaan lewat dialog dan diskusi.”

Suatu hari, sebulan sebelum ayahandanya wafat, ia ditanya, mau hidup mukti atau mulya. Putra mahkota yang telah bergelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Raja Putra Nalendra Mataram itu memilih yang pertama.

Mengapa?

“Kalau mukti, seluruh diri saya diabdikan untuk kepentingan orang lain. Sedangkan mulya cenderung untuk diri sendiri.” Setelah terdiam sejenak, HB IX bicara penuh wibawa, “Kalau Mas Jun (nama kecil HB X) pilih hidup mukti, maukah berjanji untuk bisa mengayomi semua orang, termasuk yang tidak suka padamu. Kedua, tidak melanggar peraturan negara. Ketiga, tak boleh punya ambisi apa pun kecuali menyejahterakan rakyat. Dan keempat, lebih berani menyatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah ....”

“Lebih berani dari siapa...?” sela sang putra mahkota.

"Dari saya. Zaman Bung Kamo dan Pak Harto, kalau beda pendapat, saya pilih diam. Ternyata itu salah,” bergetar suara penggagas (asli) Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil menguasai Yogya selama enam jam itu.

Saat duduk di Dampar Kencana pada 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) ketika penobatan dirinya menjadi Sultan Hamengku Buwono X, ia membatin, akan membawa mati keempat janji itu.

Keberanian itu ia buktikan, ketika seminggu setelah jumenengan (penobatan), datang “seseorang” menanyakan komitmennya pada Pak Harto selaku presiden.

Dengan tegas ia katakan, “Sebagai rakyat biasa saya loyal pada Pak Harto sebagai Presiden RI. Sebagai individu, saya loyal pada bangsa dan negara. Sebagai generasi muda, saya loyal pada Pak Harto sebagai generasi tua. Namun, saya berharap Pak Harto memberi kesempatan pada generasi muda untuk berproses dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jangan justru mematikan generasi muda.” Jawaban inilah (mungkin) yang membuatnya kurang disukai pihak Cendana, apalagi ia ungkapkan hal itu berkali-kali secara terbuka.

Puncak keberaniannya terjadi ketika sejak 14 Mei 1998 ia tampil di berbagai tempat menyuarakan pembelaan pada rakyat. Setelah berpuasa sebulan penuh (19 April - 19 Mei 1998), kemudian ia mengadakan pisowanan agung di Alun-alun Utara, dengan jutaan rakyat Yogya menggerumuti sepasang beringin kurung pada Rabu 20 Mei 1998. Apel raksasa yang mengeluarkan Maklumat Yogyakarta yang mendukung Gerakan Reformasi itu mencair begitu saja, tanpa kerusuhan. Kharisma Sultan HB X dan wibawa keraton dipertaruhkan. Esoknya, 21 Mei 1998, Soeharto lengser.

Pernah ditulis di Intisari edisi Februari 2004 dengan judul “Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat”