Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat: Tak Ragu-Ragu Menyeret Pejabatnya ke Pengadilan

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat: Tak Ragu-Ragu Menyeret Pejabatnya ke Pengadilan

Intisari-Online.com -Suatu ketika, Sri Sultan Hamengku Buwono X sedih melihat kian maraknya KKN di zaman reformasi ini, nuraninya terusik untuk ikut pencalonan presiden. Padahal, selama ini, tokoh pertemuan Ciganjur ini tak berminat menempati posisi itu, meskipun salah satu polling memilih dirinya sebagai yang paling layak memimpin negeri ini. “Siapa pun dia, yang penting presiden jangan KKN, sehingga dia punya kemampuan memilih pembantu-pembantu yang juga tidak KKN.”

Dalam format terbatas, sebagai gubernur ia memegang teguh janjinya. Sejak hari pertama memangku jabatan, ia telah mewanti-wanti keluarganya apa yang tidak boleh dilakukan. Saat memilih sekwilda pun, ia minta harus siap menjadi filter baginya dalam mengawasi KKN. “Saya suruh ia umroh ke Mekkah, berjanji di hadapan Allah SWT. Kalau melanggar janji jabatan, ia harus siap dipecat.”

Sultan tak main-main dalam menjaga kebersihan aparatnya. Ia tak ragu ragu menyeret seorang pejabatnya ke pengadilan. “Apakah kesalahannya terbukti, itu soal nanti. Yang penting proses hukum ditegakkan,” tandas alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini.

Negeri ini butuh pemimpin yang berani menegakkan hukum. Karenanya, si pemimpin harus bersih dulu, baru pantas membersihkan bawahannya.

Sejak Sri Sultan HB X naik tahta, Keraton Yogyakarta seolah dialiri darah segar. Walau ia akui, “Keraton tak punya kekuasaan politik, hanyalah artefak saja. Baru hidup karena ada Sultan di dalamnya, yang hanyalah pelestari budaya.”

Namun, karena setiap raja berhak melakukan perubahan – tak ada keraton mana pun di dunia seperti ini - Sultan HB X pun mengubah manajemen keraton. Tak ada lagi tari yang disakralkan. Perpustakaan dibuka untuk umum, manuskrip kuno sering dimanfaatkan tamu dari dalam dan luar negeri untuk membuat skripsi, tesis, ataupun disertasi.

Keluarga Sultan pun tak lagi tinggal di Kaputren, melainkan di Keraton Kulon, sehingga tamu bisa berkunjung kapan saja tanpa harus berpakaian adat. “Pakai blujin pun no problem. Bahkan saya sering mengadakan dinner di keraton."

Ia mendekatkan keraton pada rakyatnya. Siapa pun boleh menemuinya, agar segala keluhan ia dengar langsung dari mulut pertama. Sebagai pemimpin, ia tak ingin adigang-adigung (sok kuasa), agar di saat selesai masa jabatannya, rakyat tetap menghormati.

Berdiri tanpa jarak dengan rakyat memungkinkan pemimpin mendengarkan suara kalbu mereka. “Saya sedih, setiap pemimpin bangsa ini selalu rontok karena dihujat dan digoyang oleh rakyat. Bukankah mereka manusia biasa, penuh kekurangan walau ada kelebihannya. Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Mbak Mega, atau entah siapa lagi, setelah dipuji lalu dicaci maki. Mengapa kita selalu mengulang hal yang sama?”

Padahal, Sri Sultan mengingatkan, bukankah bangsa ini penuh kearifan lokal yang bisa menjadi kekuatan bagi kita untuk bangkit bersama kembali. Kita masih berbangsa dan bertanah air satu, karena setiap etnik memiliki kearifan lokal yang menyatukan semangat kita semua.

“Kita harus berani memberi roh atau nilai baru pada kearifan lokal, mengartikan kembali nilai-nilai universal yang dikandungnya, yang mempunyai korelasi dengan tantangan perkembangan zaman.”

Tanpa sadar, Sri Sultan mengepalkan tangan. Adakah calon pemimpin bangsa menyadari hal ini? Kalbu rakyat menyimpan suara Tuhan, ia memilih meletakkan hati di dalamnya.

Pernah ditulis di Intisari edisi Februari 2004 dengan judul “Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat”