Penulis
Intisari-Online.com -DNA mitokondria tersusun atas 16.569 unit pasangan basa (nukleotida) dalam setiap lingkarannya. Setiap unit merupakan kombinasi dari basa-basa adenin (A), guanin (G), sitosin (C), dan timin (T). Dengan ke cepatan mutasi 5 – 10 kali lebih cepat daripada DNA inti, molekul mtDNA sangat polimorfik alias beragam.
Dalam penelitiannya, Wuryantari yang menyelesaikan S1-nya dengan predikat cum laude itu menggunakan beberapa penanda genetik yang lazim digunakan dalam mempelajari populasi. Tujuannya, untuk menentukan karakteristik genetik yang menandai suatu populasi berdasarkan variasi susunan basa di daerah mtDNA dan polimorfisme di bagian lain mtDNA dari sampel fosil-fosil itu.
Selain itu, perielitian juga untuk menjawab apakah ada hubungan antara manusia prasejarah dari kedua situs itu dengan manusia , Jawa dan Bali sekarang. Indikatornya adalah dengan mencari adanya delesi 9-pb pada daerah tertentu dan motif Polinesia pada DNA mitokondria. Sementara untuk membuktikan bahwa fosil tersebut berjenis kelamin wanita, Tari menggunakan penanda gen amilogenin.
Adanya variasi susunan basa di daerah HVR-I pada D-Loop mtDNA pada pasangan basa di urutan ke-l6189, 16217, 16261, dan 16519 memberikan gambaran bahwa manusia yang ditemukan di Plawangan dan Gilimanuk tersebut sama-sama merupakan keturunan ras Asia dengan ciri Polinesia. Manusia Plawangan dan Gilimanuk tersebut memiliki haplotipe mtDNA kelompok M-a dan B*. Hal ini menunjukkan, keduanya mendapat pengaruh kuat gen Mongoloid (berbahasa Austronesia).
Kode-kode dan istilah-istilah genetika di atas yang dipakai Wuryantari dalam kesimpulannya memang tidak gampang dipahami oleh masyarakat awam. Tetapi deretan kode dan istilah-istilah itu mengungkapkan bahwa jumlah mutasi pada mtDNA merupakan cermin kekerabatan dua kelompok. Semakin besar jumlah variasi yang memisahkan dua kelompok etnik, semakin jauh jarak kekerabatan antara kedua kelompok tersebut. Bahkan kalau ada dua orang yang mtDNA-nya persis sama, kekerabatan di antara keduanya sangatlah dekat. Mungkin satu ibu, satu nenek, atau satu nenek moyang.
"Yang pasti hasil penelitian saya menunjukkan antara Jawa dan Bali mempunyai kekerabatan yang dekat, artinya secara genetik kedua populasi mempunyai urutan gen yang mirip atau perbedaan genetiknya kecil. Jadi kedua populasi sangat besar kemungkinannya berasal dari nenek moyang yang sama. Hanya karena kemudian mereka tumbuh dan berkembang dalam pengaruh budaya dan lingkungan yang berlainan maka masing-masing populasi tampak berbeda," jelas Wuryantari.
Sementara kekerabatan yang jauh kemungkinan muncul ada Joko yang orang Jawa asli dibandingkan dengan Jack yang orang Inggris. Ini terlihat pada kemungkinan perbedaan antara basa-basa mitokondria bisa ada beberapa buah. Tidak mungkin persis sama. Paling tidak, Jack punya polimorfisme atau variasi yang khas bagi orang Inggris. Sementara Joko punya delesi 9-pb yang khas buat orang Asia dan Polinesia. Kemungkinan Jack punya delesi 9-pb sangat kecil, kecuali kalau ia tanpa disadari ternyata punya nenek moyang orang Asia. Atau ia punya mutasi baru yang mirip polimorfisme khas Asia.
Gunakan tulang padat
Agaknya kesulitan menerjemahkan hasil penelitian bungsu dari sepuluh bersaudara ini bukan hanya monopoli masyarakat awam. Wuryantari sendiri mengaku menemui kesulitan pada tahap mengisolasi DNA yang berukuran mikron itu dan memastikan tidak adanya zat lain atau kontaminasi pada sampel yang diteliti.
"Studi ini sangat dimungkinkan mengingat adanya sumber genetik yang dapat bertahan dalam waktu lama, yaitu tulang-belulang yang merupakan salah satu temuan purbakala dari aspek arkeologi," kata wanita kelahiran Kudus ini. Hanya saja, ia mengingatkan, untuk penyempurnaan dan pengembangan penelitian DNA prasejarah penggunaan sampel tulang bukan dari jenis tulang pipih, tetapi tulang padat.
Meski begitu langkah Tari merupakan terobosan penelitian manusia purba di Indonesia.
Secara praktis barangkali penelitian Tari tidak langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tetapi menurut Tari dalam jangka panjang apa yang dikerjakan bisa untuk melihat spektra penyakit-penyakit tertentu. Soalnya dengan mengetahui kondisi genetik untuk tiap populasi yang ada di Indonesia akan diketahui informasi genetik untuk tiap-tiap etnik. Misalnya etnis Sunda mempunyai beberapa mutasi, Jawa dengan mutasi lainnya, juga etnis Papua dengan mutasi tersendiri.
"Nantinya kita akhirnya bisa memberikan konseling genetik, misalnya orang Jawa katakanlah jangan menikah dengan suku Bali. Tujuannya untuk mengeliminir kejadian prevalensi penyakit A. Soalnya orang Jawa mempunyai mutasi yang mayor, sementara suku Bali juga mayor. Jadi kalau mereka menikah kemungkinan anaknya terkena penyakit A besar," jelas Tari.
Ia tampaknya sudah gandrung dengan dunia penelitiannya dan merencanakan penelitian lanjutan pada sampel tulang purba yang berumur lebih tua lagi. Di samping itu, akan diteliti fosil manusia purba yang ditemukan di pulau-pulau lain di Indonesia untuk tujuan yang sama, yaitu mengetahui kaitan kekerabatan dan pola migrasinya.
Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Oktober 2001 dengan judul “DNA Mitokondria Lorong Menuju Pengungkapan Asal-Usul Manusia”