Find Us On Social Media :

Lambang Garuda dan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika

By Moh Habib Asyhad, Senin, 1 Juni 2015 | 19:15 WIB

Lambang Garuda dan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika

Intisari-Online.com - Menurut lampiran Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951 yang menjelaskan, Lambang Garuda diambil dari benda peradaban Indonesia seperti yang hidup dalam mitologi, simbologi, dan kesusasteraan Indonesia dan yang tergambar pula pada beberapa candi sejak abad ke-6 sampai abad ke-16. Burung garuda ialah lambang tenaga pembangunan (kreatief vermogen) seperti dikenal pada peradaban Indonesia.

Dalam mitos masyarakat Indonesia, burung garuda berkerabat dengan burung elang rajawali. Burung itu dituliskan di candi Dieng, Prambanan, dan Panataran. Ada kalanya dilukiskan sebagai manusia yang berparuh burung dan bersayap (Dieng); di candi Prambanan dan di candi-candi Jawa Timur rupanya seperti burung dan berparuh panjang berambut raksasa dan bercakar.

Raja Airlangga terkenal sebagai seorang raja yang menggunakan tokoh Garuda sebagai meterai kerajaannya. Lambang itu diberi nama Garudamukha, seperti tersimpan rapi di Museum Nasional Jakarta.

Tak hanya itu, bahwa raja-raja Indonesia sudah sejak lama memakai lambang ini, diketahui juga di Barat. Dalam sebuah buku tentang lambang-lambang kerajaan yang terbit sekitar tahun 1483 berjudul Des Conrad Gruenenberg, Ritters und Burgers in Constanz Wappenbuch: vollbracht am nuenden Tag de.s Abrellen, do man zaelt tusend vier hundert drue und achtzig jar" memuat lambang “kaisar Jawa” yang memperlihatkan seekor burung phoenix di atas api unggun. Sedang “kaisar Sumatera” lambangnya rajawali digambar dan samping dengan kedua cakarnya mengarah ke depan.

Pasal 5 lampiran itu menyebutkan bahwa kata Bhineka lalah gabungan dua kata yakni bhina dan ika. Jika diterjemahkan menjadi “berbeda-beda tetapi satu jua”.

Penjelasan ini, terutama mengenai gabungan dua kata itu sering menimbulkan salah tafsir. Orang mengira bahwa ika itu berarti satu padahal ika hanya kata penunjuk yang berarti “itu”. Kata ini masih hidup dalam bahasa daerah Jawa Timur. Jadi kalau diuraikan kata demi kata maka menjadi bhinna ika (digabungkan jadi bhinneka) tunggal ika. Terjemahan kharfiahnya: beda itu (tetapi) satu itu.

Semboyan ini diambil dari kitab Sutasoma karangan Empu Tantular dari pertengahan abad ke-14. Kata-kata ini dipakai Tantular untuk menjelaskan faham sinkretis antara Hinduisme dan Buddhisme yang menjadi aliran zaman itu. Lengkapnya ialah: 

Siwatattwa lawan Buddhatattwa tunggal, bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa.

(Siwa dan Budha itu satu, dibedakan tetapi satu, tidak ada ajaran agama yang bersifat mendua).

 Tetapi siapakah mendapat ilham gemilang untuk mengangkat mutiara dari abad ke-14 ini menjadi semboyan nasional kita? Pak Yamin-kah? Atau atas nasehat orang lain? Kita tidak tahu. Besar memang kemungkinannya Yamin, sebab dia tahu bahasa Jawa Kuno juga khasanah naskah-naskah lama. Tetapi kita tidak tahu dengan pasti, sebab dokumen-dokumen peninggalan Yamin tidak pernah mengatakan sesuatu tentang kejadian pencantuman motto ini di bawah rancangan-rancangan yang terakhir.