Find Us On Social Media :

Mengintip Penyakit dari Telur Ayam: Bukan Telur Sulap

By Moh Habib Asyhad, Selasa, 9 Juni 2015 | 18:30 WIB

Mengintip Penyakit dari Telur Ayam: Bukan Telur Sulap

Intiasri-Online.com - Hadi Subedjo mungkin bukan satu-satunya paranormal yang mengintip penyakit dari telur ayam. Bagi para pasien atau pemakai jasa terapi tradisional pun telur bukan barang asing. Maka, untuk menghindari kesan penipuan atau akal-akalan, Bedjo mempersilakan pasien membawa telur sendiri. la tak menyediakannya di tempat praktek. Bagi pasien yang tidak tahu-menahu harus membawa telur, terpaksalah pergi untuk membelinya, pun bukan di warung yang berdekatan dengan tempat itu.

Pasien boleh membubuhkan tanda atau memberi ciri apa pun sebelum telur dipergunakan. “Supaya tidak disangka rekayasa,” Bedjo menekankan. “Telur yang ditempelkan ke tubuh pasien, kemudian dipecah untuk melihat gambaran penyakit, ya telur yang dibawa dan ditandai oleh pasien. Saya tidak mengganti atau menyulapnya.”

Munculnya tanda di dalam telur memang tak bisa dijelaskan lewat cara pikir awam. Ada unsur gaib terlibat, yang oleh Bedjo dikatakan sebagai gabungan antara tenaga prana dan kekuatan batin. “Jadi sebetulnya, telur adalah sarana. la sekadar tempat bagi deteksi mata batin saya. Saya berkonsentrasi sebentar, meminta petunjuk agar bisa melihat isi tubuh pasien. Hasilnya kemudian masuk ke dalam telur,” ungkapnya.

Sesudah telur dipecah, tampaklah gambaran penyakit. Lewat penglihatan batin yang sama, Bedjo kemudian mencari ramuan yang diperlukan bagi pengobatannya.

Dari berbagai macam bahan dan ramuan tradisional, yang setiap saat dibelinya di pasar beberapa kota, jadilah macam-macam obat untuk berbagai jenis penyakit. Dari yang ringan semacam pilek atau sakit gigi sampai kanker. “Bahkan penderita jantung koroner, menurut catatan saya, belum ada yang gagal. Ada pasien yang menurut dokter harus dioperasi atau dibalon, berobat sama saya ya alhamdulillah sembuh,” terangnya sambil menunjuk tumpukan ribuan kartu pasien yang tertata rapi di salah satu meja.

Beragamnya derita penyakit pasien menyebabkan beragam pula jenis, takaran, harga, maupun jangka waktu pengobatannya. Ada yang satu resep untuk seminggu, ada pula yang sekaligus diberikan untuk 6 bulan, seperti halnya kepada penderita asma, bahkan beberapa tahun. Harga yang dipasang Bedjo bervariasi, antara Rp20.000 – Rp40.000. “Tapi banyak juga pasien yang tidak punya uang, datang ke sini, ya tetap harus saya bantu,” katanya.

Begitu pula pasien rawat jalan di tempat jauh, yang menelepon minta kirima obat. “Walaupun sebelumnya saya sudah berikan nomor rekening bank supaya pembayarannya lewat transfer bank, saya tetap nggak bisa apa-apa seandainya mereka nggak bayar,” Bedjo menjelaskan usahanya yang tidak bisa kelewat komersial.

Belum lagi melihat keberadaannya di tengah masyarakat. Selalu dan setiap saat, tetangganya datang untuk berobat. Tentu saja, Bedjo tak bisa menolak; apalagi memungut biaya.