Find Us On Social Media :

Industri Rekaman, Nasibmu Kini

By Rusman Nurjaman, Selasa, 22 Januari 2013 | 14:09 WIB

Industri Rekaman, Nasibmu Kini

Intisari-Online.com - Era digital dan maraknya pembajakan memaksa pelaku industri musik Indonesia untuk berubah. Visi, manajemen, dan strategi bisnis ditata kembali agar bisa bertahan. Mau tahu kisahnya?

Album baru penyanyi Tasya bertajuk “Beranjak Dewasa” itu dipajang di sebuah gerai toko ritel kebutuhan rumah tangga. Pemandangan serupa juga bisa kita jumpai di beberapa toko lain yang sejenis. Sebut saja misalnya di Alfamart, Seven Eleven, Indomaret, Carrefour, dan Super Indo. Di toko-toko tersebut kini kerap dijual album musik DVD. Salah satu album The Bagindas bahkan pernah di jual di beberapa jaringan SPBU di ibukota. Ada juga rumah makan padang yang menjual album DVD jaz minang.

Beberapa tahun terakhir ini masyarakat dibanjiri akses yang melimpah ruah untuk menikmati musik. Mereka tidak perlu lagi pergi ke toko yang khusus menjual kaset/DVD untuk mengoleksi album karya musisi pujaannya. Namun, tunggu dulu, keliru jika Anda mengira semua itu bukti kemajuan industri musik Indonesia. Situasi keterpurukanlah yang memaksa banyak label musik “bergerilya” untuk memasarkan produknya. Salah satunya, ya lewat penitipan di tempat-tempat yang bisa langsung di akses masyarakat luas tadi. Seven Eleven, misalnya, menjadi tempat penitipan strategis karena di situ tempat nongkrong kawula muda.

Penjualan dalam format fisik ini pun sebenarnya bukan andalan utama para pelaku industri musik di Tanah Air. Mereka tetap mempertahankan produk fisik karena alasan tertentu. “Meski jumlah produksinya terus berkurang,  tapi yang mengoleksi juga masih banyak. Selain itu, ini juga merupakan bentuk apresiasi terhadap sebuah karya,” kata Arie Legowo, Manajer Artis dan Repertoir Warner Music Indonesia. 

Datangnya era digital di abad milenium ini menjadi tantangan baru industri musik Indonesia. Pemicunya, muncul kecenderungan kuat di masyarakat untuk menikmati karya-karya musik secara ilegal. Misalnya, dengan mengunduh di internet atau menggandakannya. Dampaknya, pemasukan perusahaan rekaman pun turun drastis. Kala itu, memang hampir semua label musik hanya mengandalkan penjualan produk fisik belaka. Banyak perusahaan rekaman lokal yang terpaksa gulung tikar menjadi tak terelakkan. Sementara yang masih hidup harus kreatif memikirkan cara-cara baru untuk bertahan.

Beredarnya produk-produk bajakan juga membuat para pelaku industri musik kian tiarap. Untuk menarik minat konsumen, pihak label sempat menurunkan harga produk mereka. Rata-rata album musik CD/DVD asli bisa didapatkan dengan harga Rp20 ribu - Rp30 ribu. Namun upaya ini tak banyak membantu. Barang bajakan yang harganya Rp5 ribu tetap lebih diminati. Toh dari segi kualitas, tak jauh beda dengan yang asli. Cover-nya pun bagus. Permasalahan kian berlarut-larut karena pembajakan tak kunjung ditangani hingga tuntas oleh pihak yang berwenang. Tak pelak, kegelisahan tak hanya menghinggapi perusahaan rekaman. Para artis dan orang-orang di belakang layar yang menggantungkan hidupnya pada musik menjadi gusar. Nasib mereka seolah sedang berada di ujung tanduk lantaran karya musik belum tentu bisa menjamin mereka untuk hidup. 

“Kalau dibajak 'kan kasihan, Mas. Orang-orang sudah sudah bersusah payah mencipta lagu. Kemudian rekaman yang prosesnya tidak gampang. Berhari-hari di studio, begadang dan sebagainya. Begitu selesai, beberapa saat kemudian sudah dibajak,” papar Arie. “Ada hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan hilang begitu saja,” imbuhnya.

Zaman memang telah berganti. Pengamat musik Denny Sakrie, menuturkan, kondisi tersebut membuat pelaku industri musik semakin meyakini satu hal: keterpurukan ini harus dihadapi dengan upaya alternatif. Dulu, merebaknya ring back tone (RBT) sempat memberi sinyal kebangkitan industri musik. Tapi ternyata bulan madu dengan RBT ini hanya berlangsung singkat saja. Belakangan, mereka kembali menempuh beragam upaya agar bisa bertahan.

Kini selain memperluas jaringan distribusi, mereka juga membenahi manajemen operasionalnya. Kini rata-rata manajemen industri musik Indonesia tak hanya mengurusi rekaman. Pertunjukkan atau konser dan berbagai potensi bisnis yang terkait dengan musik dan artis yang berada di bawah kontrak bendera perusahaan pun mereka jalani. Mereka menyebut cara ini manajemen 360 derajat.

Hasilnya, beberapa industri rekaman besar memang bisa bertahan. Beberapa yang lainnya ada yang bergabung dengan perusahaan industri rekaman yang lebih besar. Namun begitu tak sedikit juga industri rekaman yang kini tinggal nama saja alias gulung tikar.