Penulis
Intsiari-Online.com -Anarki dan kemiskinan mendera Somalia sejak 1991. Diktator Siad Barre digulingkan, perang saudara datang silih berganti, dan tidak ada polisi atau aparatur pemerintah yang berfungsi. Tidak adanya aparat yang berfungsi membuat kapal penangkap ikan dari negara besar dengan sewenang-wenang menjarah hasil laut tanpa peduli dengan hak dan hukum perairan nasional Somalia.
Ditambah dengan pembuangan limbah industri dan beracun ke perairan Somalia oleh armada asing dari Eropa maupun Asia. Semua ini memicu timbulnya kelompok LSM kecil yang melahirkan gangster laut. "Setiap malam di tengah laut kami seperti melihat kaki langit Manhattan," kata salah seorang nelayan. Dengan lampu yang terang-benderang dan dengan pukat tarik raksasa, kapal nelayan itu menjarah ikan-ikan di dasar laut dan dengan alat berat mereka memukul batu karang untuk menangkap binatang laut berkulit keras.
Para nelayan Somalia mulai melakukan perlawanan. Dengan Kalaschnikows, senjata kuno buatan Uni Soviet, mereka mencegat dan membajak kapal nelayan gelap itu. Yang mengejutkan, dengan tindakan yang relatif berjalan mulus ini mereka berhasil memperoleh uang tebusan sampai ratusan ribu dolar! Hal ini memantik ide bisnis baru yang bisa dikembangkan. Para milisi yang sedang kelaparan tertarik dengan ide ini. Banyak pemuda miskin dan menganggur di Somalia memandang perompakan sebagai pilihan yang mempesona.
Mereka mulai menjual surat izin menangkap ikan dengan harga tinggi, ada juga yang memeras uang kontan dengan todongan senjata. Perompak Somalia tidak menyebut uang tebusan tapi uang "iuran". "Kami bukan perampok di laut, melainkan pengawas pantai. Bagi kami perompak sesungguhnya adalah mereka yang menyikat ikan, membuang sampah, dan mengangkut senjata secara ilegal di perairan laut kami," serapah Sugule Ali lewat telepon satelit. Ia berbicara atas nama kelompok yang menamakan dirinya "Daerah Pusat Pengawas Pantai", satu dari banyak kelompok sejenis.