Monas, Dian Tak Kunjung Padam

Agus Surono

Penulis

Monas, Dian Tak Kunjung Padam

Monas adalah Jakarta! Lihatlah di film-film tempo dulu, tugu ini selalu tampil sebagai landmark ibukota RI. Namun, Monas juga pemersatu. Datanglah di akhir pekan dan kita akan menyaksikan beragam aktivitas dilakukan di sini. Menyambut bulan Juni yang identik dengan bulan Jakarta, Intisari Online menyajikan pernak-pernik mengenai Jakarta. Sebagai awalan adalah soal Monumen Nasional. Selamat mengikuti!

Sempat diprotes banyak kalangan, pagar setinggi 2,5 m tetap saja dibangun mengelilingi kawasan Monumen Nasional. Sejak Oktober 2002, citra Monas yang buruk karena kurang terkelola dengan baik kembali pulih. "Tadinya, saya tidak terlalu sepakat terhadap rencana pemagaran itu, tapi akhirnya harus saya akui, Monas sekarang lebih tertib," kata perancang master plan kawasan Monas, Prof. Ir. Danisworo, Ph.D. (mediaindo.com).

Namun, pemagaran ini justru menimbulkan kebingungan banyak orang terutama soal pintu masuknya. Salah satunya seorang bapak berusia sekitar 50 tahun yang ditegur oleh pemuda berseragam banpol saat memarkir kendaraan bukan di tempat semestinya. "Jangan parkir di sini, Pak. Parkirnya di Irti saja," ujarnya. Si bapak balik bertanya, "Di mana itu Irti?"

Irti yang dimaksud letaknya di seberang Gedung Balaikota DKI. "Pintu masuk" dari sisi selatan itu sebenarnya bukanlah pintu masuk, hanya pagar pekarangan tugu yang dibongkar agar pengunjung bisa masuk. Pintu sebenarnya berada di sisi utara atau di seberang Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Jln. Medan Merdeka Utara.

Pintu masuk utama yang dirancang Soedarsono - arsitek Indonesia tersohor semasa Bung Karno - berupa sebuah terowongan bawah tanah. Terowongan itu berada di dekat patung Pangeran Diponegoro, yang merupakan hadiah dan hasil karya pemahat Italia tersohor, Prof. Corbeltado. Menikmati Monas sekarang memang berbeda dengan sebelumnya. Selain ada tontonan baru, berupa kawanan rusa, setiap malam Minggu dipertontonkan atraksi air mancur menari. Tugu yang dibangun buat mengenang perlawanan rakyat Indonesia terhadap bangsa penjajah ini digagas pada 17 Agustus 1961. Konstruksi bangunan dibuat mengacu ke tanggal sakral kemerdekaan Indonesia, yakni 17-8-45. Pelataran cawan berbentuk bujur sangkar berukuran 45 m x 45 m, tingginya 17 m, dan ruang Museum Sejarah Nasional (di dalam) setinggi 8 m.

Dari kejauhan bangunan setinggi (dari halaman tugu hingga ke titik puncak lidah api) 132 m ini sudah menampakkan tiga bagian terpentingnya: pelataran yang luas mendatar, tugu yang menjulang tinggi, dan lidah api keemasan di puncak tugu. Tugu melambangkan lingga, sedangkan pelataran cawan menyimbulkan yoni. Bisa juga diartikan sebagai alu dan lumpang, seperangkat alat buat menumbuk beras. Memang alat itu sudah jarang ditemukan sejak modernisasi pertanian dijalankan.

Lingga dan yoni melambangkan aspek negatif dan positif seperti halnya siang dan malam, lelaki dan perempuan, air dan api, bumi dan langit, lambang dari alam yang abadi. Sementara api yang menyala di puncak tugu perlambang tekad bangsa Indonesia yang tak pernah padam sepanjang masa untuk berjuang dan membangun.

Tinggi lidah api 14 m. Dibutuhkan perunggu seberat 14,5 ton yang terdiri atas 77 bagian yang disatukan dan seluruh permukaannya berlapis emas seberat lebih kurang 32 kg. Kabarnya, emas ini berasal dari Rejanglebong, Bengkulu. Pada malam hari lidah api ini tampak sangat indah disorot lampu.

Monas memiliki beberapa bagian di dalamnya. Di bawah monumen terdapat Museum Sejarah Nasional seluas 80 x 80 m berlapiskan batu pualam dengan tinggi 8 m. Di sekeliling dindingnya terdapat 48 jendela kaca yang menggambarkan diorama perkembangan sejarah nasional Indonesia. Mulai dari kehidupan masyarakat purba sampai penentuan pendapat rakyat Irian Barat tahun 1969.

Ruangan lainnya adalah Ruang Kemerdekaan yang terdapat pada tugu berbentuk cawan. Memasuki ruangan ini, rasa nasionalisme kita serta merta tergugah. Ruangan dengan gaya amfiteater bersuasana tenang itu penuh dengan atribut kemerdekaan bangsa Indonesia, yaitu bendera Merah Putih, peta wilayah Indonesia, teks Proklamasi, dan lambang Bhineka Tunggal Ika - Pancasila. Bagian terakhir dari Monas berupa pelataran di puncak tugu pada ketinggian 115 m, seluas 11 x ll m dengan daya tampung 50 orang. Untuk mencapai tempat ini kita harus naik lift dan dari sini kita bisa memandang Kota Jakarta dari ketinggian.

Di sekitaran Monas yang pernah mengalami lima kali pergantian nama (Lapangan Gambir, Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan Taman Monas) inilah dapat dilihat beragam aktivitas masyarakat yang rindu akan ruang terbuka.