Find Us On Social Media :

Abah Dasep Inovator Alat Musik Bambu

By Agus Surono, Jumat, 3 Juni 2011 | 17:13 WIB

Abah Dasep Inovator Alat Musik Bambu

Penulis: Rahmi Fitria, Kontributor Intisari di Bogor Bambu menjadi tanaman yang begitu akrab dengan geliat jiwa seni urang Sunda. Paling tidak begitu keyakinan Dasep Arifin, seniman Sunda yang sejak empat tahun terakhir fokus mengembangkan aneka jenis alat musik berbahan bambu. Menjadi alternatif alat musik, jika kelak kayu sudah langka? Lelaki berpakaian serba hitam itu mengacungkan jari telunjuknya tinggi ke udara. Sontak terdengar suara riuh pipa-pipa bambu yang saling berbenturan. Sekali lagi, giliran telunjuk dan jari tengah, riuh benturan pipa bambu kembali terdengar dengan suara berbeda. Terdengar perbedaan bunyi nada "da", sedangkan yang sebelumnya "mi", dalam tangga nada pentatonis alat musik Sunda. Begitu berulang seterusnya. Suara benturan pipa bambu terdengar silih berganti, tiap kali lelaki itu mengacungkan jari-jarinya ke udara. Alunan musik angklung pun mengisi udara sore yang basah di perbukitan Sentul, Bogor, Jawa Barat. Dasep Arifin bukan cuma berkutat pada alat-alat musiknya, melainkan juga mengajarkan sekitar 30-an pemuda untuk memainkannya. Di sebuah tempat bernama Taman Budaya yang terletak di kawasan Sentul itu menjadi tempatnya beraktivitas untuk memperkenalkan dan mengembangkan ragam seni dan budaya Sunda kepada masyarakat. Sejak usia 10, Dasep sudah menggeluti seni, khususnya tari. Tari Jaipong-lah yang telah membawanya melanglang buana ke berbagai negara. Namun sejak 2007, keputusannya bulat untuk mengembangkan alat musik bambu yang menurutnya mulai dilupakan orang. "Identitas masyarakat Sunda itu bambu. Masyarakat kita itu agraris, tidak mungkin membuat alat dari besi yang mahal dan makan waktu membuatnya," jelas pria 63 tahun ini bersemangat.

Sangkia yang bergerak maju Ruangan seluas 40 m2 itu tampak sesak oleh berbagai jenis alat musik berbahan bambu. Bentuknya unik bahkan, buat saya, terlihat asing. Maklum, sebagian besar merupakan alat musik tradisional Sunda yang sudah jarang dipertunjukkan, di antaranya talawangsa, angklok, lantung atau gintung. Pantas saja, baru namanya saja sudah asing di telinga saya. Di tengah ruangan, saya menemukan alat musik yang bentuknya cukup familiar. Penampakannya mirip kolintang dari Minahasa. Namun yang ini bukan dari kayu, tapi bilah-bilah bambu. Abah, demikian Dasep Arifin biasa disapa, lantas memukul-mukul susunan bilah bambu secara berirama. Empuk benar suaranya, merdu, meski tidak terlalu keras. Kata Abah, bunyi dari alat musik inovasinya ini tidak sekeras alat musik aslinya lantaran tingginya kadar air dalam bambu. Namun menurut Abah, bila proses pengeringan batang bambu maksimal suaranya tak kalah keras. Cara mengakalinya, bisa dengan teknologi. "Sekarang 'kan sudah ada spool dan amplifier," ujarnya. Di pinggir ruangan, sedikit merapat ke tembok putih bersih itu, tampak berderet sembilan buah batang pipa bambu berdiameter 15 cm, berdiri tegak, dengan tinggi bervariasi. Cara memainkannya dengan memukul tiap-tiap lubang bambu dengan alat seukuran bet pingpong. Tiap pipa bambu menghasilkan suara berbeda. Seru juga melihat Abah beraksi "menggebuk" batang-batang bambu itu. Bunyinya seperti drum, tapi lebih pelan. Dasep mempelajari keterampilan berkesenian secara autodidak, bermodalkan pengalaman dari panggung ke panggung. Awalnya dari pentas-pentas kesenian di kampungnya, Desa Ciwideuy Bandung Selatan, dengan perjuangan yang sulit. "Harus berjalan kaki satu hari satu malam, keluar-masuk hutan, menyeberangi kali hingga berenang melintasi tujuh muara sungai, dalam perjalanan menuju panggung," kisahnya. Namun bagi Abah, masa-masa sulit itu justru melengkapi perjalanan karirnya sebagai seniman. Susah-senangnya berkesenian dirasakannya begitu komplit, dari mulai mengajar anak tingkat RT sampai anak presiden, serta menjuarai berbagai kejuaraan seni tari dan musik tradisi baik di tingkat daerah maupun nasional. Pergaulannya semakin meluas saat pindah ke Jakarta, 1974, sehingga makin mempelajarai bermain musik dan membuat alat musik. Empat tahun terakhir ini, Abah memutuskan untuk menekuni pembuatan alat-alat musik. Bukan hanya bereksperimen dengan alat-alat musik tradisional, tapi juga alat musik modern, seperti harpa dan biola. Dalam berinovasi ia gigih menguji coba sebelum menemukan bentuk akhir. Seperti sebuah biola yang terbuat dari bambu hasil kreasinya, merupakan versi ketiga yang diuji coba. Hasilnya bobot lebih ringan dan suara lebih bagus. Karakteristik bambu memang mengharuskan adanya modifikasi pada bentuk sejumlah alat musik hasil inovasi Abah. Biola yang lazimnya berbentuk gitar mini dengan lekuk-lekuk di kedua sisinya, harus dibuat lurus memanjang. Begitu pula kecapi bambu yang permukaannya melengkung pada beberapa sisinya. Namun cara memainkannya tetap seperti alat aslinya agar tidak membingungkan pemakainya. Aneka jenis alat musik bambu buatan Dasep diberi nama Sangkia. Asalnya dari aba-aba bagi kerbau dalam tradisi membajak sawah di kampungnya dahulu, yakni mider yang menjadi komando agar kerbau berputar dan kia yang merupakan perintah agar bergerak maju. Harapannya, Sangkia dapat bermanfaat bagi kemajuan kesenian tradisi Sunda. Meski tergolong baru, sangkia sudah pernah tampil dalam sebuah pementasan seni di Belanda. Tanaman kultural Keakraban bambu dengan masyarakat Sunda, bisa jadi lantaran 90 spesies bambu dari 127 tanaman bambu ada di Bumi Priangan. Pemakaiannya melekat dalam kehidupan tradisional sejak berabad silam mulai dari bahan pembuat rumah, jembatan, perkakas rumah tangga, alat musik sampai lauk santapan. Membanjirnya barang-barang plastik, sejak dekade 1960-an, menggeser peralatan tradisional. Nasib alat musik dari bambu setali tiga uang. Dari sekian banyak alat musik tradisional, masyarakat kini hanya akrab dengan suling atau angklung. "Sekarang ada kecenderungan teknologi akan membunuh tradisi," kata Dasep prihatin. Harusnya menurut Dasep, seni tradisi harus bisa mengikuti perkembangan teknologi agar tidak tergilas roda zaman. Ia sendiri tidak keberatan generasi penerus kelak memodifikasi teknologi terhadap alat musik bambu ciptaannya. Inovasi alat musik bambu ciptaan Dasep ini merupakan hasil kerja keras selama hampir empat tahun. Puluhan truk batang bambu sudah dihabiskan untuk melakukan uji coba, bahkan untuk itu ia harus menjual sebuah mobil pribadinya. Menurut Dasep, bagian tersulit adalah mencari dan memodifikasi bentuk alat musik sesuai dengan karakteristik bambu agar dapat menghasilkan suara seperti alat musik aslinya yang tidak terbuat dari bambu. Hingga kini, Dasep telah membuat inovasi atas sembilan jenis alat musik. Soal harga, rata-rata sekitar 20 persen, dibanding alat musik aslinya. Dasep berharap alat musik bambu ciptaannya dapat menjadi alternatif pembuatan berbagai jenis alat musik selain kayu. "Saya membayangkan tiga puluh atau lima puluh tahun mendatang kita sudah tidak punya kayu, hutan-hutan sudah dijarah," ujarnya prihatin. "Lalu bagaimana, apa seniman tidak bisa bermain musik lagi?" Sekadar catatan, bambu mudah dibudidayakan. Masa tanamnya hanya 3 sampai 5 tahun, bandingkan dengan kayu keras pada umumnya yang butuh waktu 20 sampai 30 tahun. Apalagi bambu juga baik bagi pelestarian lingkungan yakni mencegah tanah longsor, memperbaiki sirkulasi udara dan menyimpan air tanah. Itu artinya antara alam dan Abah terjadi keselarasan. 

*) Artikel ini diambil dari Intisari Edisi Juni 2011