Find Us On Social Media :

Seni Para Penggoreng Kopi

By Jeffrey Satria, Sabtu, 3 Maret 2012 | 05:18 WIB

Seni Para Penggoreng Kopi

Intisari-Online.com - Mungkin banyak yang tidak tahu kalau biji kopi aslinya berwarna hijau. Kalau kita sering melihat biji tanaman Coffea Arabica warnanya agak-agak hitam, sesungguhnya ia sudah menjalani ritual panjang berupa disangrai atau “digoreng”. Nah, tugas itu diserahkan pada mereka, para seniman penggoreng kopi.

Istilah menyangrai (roast) memang lebih tepat digunakan untuk menyebut proses pematangan biji kopi. Tetapi di Indonesia kata menggoreng justru lebih populer. Meski anehnya, alat yang digunakan untuk “menggoreng” kopi tetap disebut roaster (panggangan).

Sejak zaman baheula, ada tiga kriteria kematangan biji kopi. Yang pertama adalah warna. Biji kopi akan berubah warna. Warna yang diinginkan biasanya adalah coklat tua. Kriteria kedua adalah aroma. Harum kopi dan asap akibat proses penggorengan akan menggoda hidung. Terakhir ialah suara. Biji kopi yang sudah matang akan mengeluarkan suara gemeretak, krak-krak...

Para penggoreng kopi yang sudah mumpuni mampu memunculkan potensi rasa dari tiap varian biji kopi. Biji kopi memang memiliki varian rasa berbeda-beda. Ada yang memiliki rasa buah-buahan, jeruk, karamel, cokelat, atau kacang. Nah, teknik menggoreng yang baik akan memunculkan potensi-potensi rasa tersebut. Hal itu tak bisa dilakukan oleh sembarang orang, hanya mereka, para seniman penggoreng kopi yang mampu melakukannya.

Tradisional dan modern

Sejarah mencatat, biji kopi masuk ke Indonesia sejak abad ke-17. Dalangnya, tak lain dan tak bukan, ialah para meneer Belanda. Mereka membawa biji kopi dari Yaman dan menanamnya di beberapa lokasi Nusantara, seperti Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Meski tidak ada catatan yang pasti, bolehlah kita berasumsi bahwa cara dan alat menggoreng kopi juga ikut masuk pada saat yang sama. Teknik tradisional itu bahkan masih bisa kita lihat sampai hari ini. Di Temanggung, kita masih bisa menyaksikan para wanita menggoreng kopi dengan wajan dan tungku seperti bangsa Turki di abad ke-16.

Tapi tidak hanya wajan metal yang masih bertahan, pabrik kopi dengan mesin tradisional juga masih ada yang bertahan. Paberik Kopi Aroma di Jln. Banceuy Nomor 51 Bandung yang berdiri sejak 1930 misalnya, belum mau menutup usia. Pak Widya, begitu Widya Pratama, sang pemilik kerap disapa, tetap setia dengan tradisi sebagaimana aslinya. Sebagai anak tunggal, ia mewarisi usaha ini dari ayahnya, Tan Houw Sian.

Pria sederhana yang gemar berpakaian safari cokelat itu memulai aktivitas menggoreng dari pukul 05.00 sampai 12.00. Tidak lebih dari 200 kg setiap hari, agar kopi yang dijual tepat habis dalam sehari. “Biar para pembeli mendapatkan kopi yang fresh,” tutur pria yang masih segar bugar di usianya ke-61 itu.

Dalam menggoreng, Pak Widya mengandalkan roaster keluaran Probat, Jerman. Mesin buatan 1930 itu masih tampak berdiri tegap di tengah pabrik ukuran 8 x 12 m itu. Bentuk roaster-nya unik, seperti helm ksatria Eropa zaman dulu. Pada bagian bawah, terdapat tungku api dengan kayu pohon karet sebagai bahan bakar. Pada bagian tengah tabung-tabung berisi bola metal yang menjadi wadah penggoreng. Bagian tengah ini tersambung dengan cerobong asap yang menjulang tinggi menembus atap pabrik.

Bagi Pak Widya, seni menggoreng kopi bukan cuma soal mengetahui tingkat kematangan, tapi juga termasuk memilih biji kopi. Ia sendiri hanya menggoreng biji kopi tua, yang telah disimpan di gudang selama delapan tahun untuk arabica, dan lima tahun untuk robusta. Selama penyimpanan, biji kopi juga harus dijemur teratur untuk mengurangi kadar keasamannya.

Proses penggorengan memakan waktu sekitar dua jam dengan suhu tetap yaitu 125°C. Tiga inderanya aktif merasakan: mata untuk melihat warna biji kopi, telinga untuk mendengar gemeretak biji kopi, dan hidung untuk mencium aroma biji kopi kalau sudah matang.