Find Us On Social Media :

Menggarap Kompleksitas di Kota Kembang

By Jeffrey Satria, Jumat, 30 Maret 2012 | 14:33 WIB

Menggarap Kompleksitas di Kota Kembang

Intisari-Online.com - Di Jln. Sarimadu 175, rumah dua lantai itu berdiri. Dengan dinding berwarna krem terang tanpa kesan unik arsitektur membuat rupa rumah tak mencolok sama sekali. Bagi mereka yang baru pertama kali berkunjung tak akan mengira, di tempat itu, peneliti muda harapan bangsa berkumpul. Itulah Bandung Fe Institute atau BFI. Sebuah lembaga penelitian beraliran kompleksitas yang berada di Kota Kembang, Bandung.

Resmi menjadi lembaga pada tahun 2003, BFI seharusnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi Bangsa Indonesia. Hokky Situngkir, Presiden BFI, menuturkan bahwa BFI menjadi pusat penelitian kompleksitas pertama di kawasan Asia Tenggara. “Singapura baru saja mendirikan institut semacam, tapi kita yang pertama,” ujarnya bangga.

Hasil karya penelitian BFI sendiri sudah terkenal di luar negeri. Di rumah dua lantai yang sangat sederhana itu, para peneliti muda bangsa telah menghasilkan ratusan bahkan ribuan jurnal penelitian. Banyak diantaranya bahkan menginspirasi peneliti di luar negeri.

Salah satunya adalah penelitian kesetimbangan sosial di Chile. Penelitian yang digunakan untuk menyimulasikan ketegangan sentimen antara anak-anak sekolah itu, ternyata membuahkan hasil luar biasa dan mendapat sambutan positif. Berkat penelitian tersebut, pemerintah Chile membuka departemen investigasi sosial yang didasarkan dari hasil penelitian. Hokky sendiri mendapatkan kehormatan untuk menulis kata sambutan saat peresmiannya.

Apa yang membuat hasil penelitian mereka begitu luar biasa? Jawabannya hanya satu, yaitu kritik! Hokky menegaskan bahwa sebuah hasil penelitian harus bisa dikritik. Penelitian hidup dari kritik. Tanpa kritik ia tak akan hidup dan berkembang. “Peneliti di BFI selalu dilatih untuk berani dikritik. Keliru kalau dia takut dikritik. Padahal, sumber tenaga dari science itu ya kritik,” ujarnya.Sayang seribu sayang, sebab di jagat ilmu Indonesia, kompleksitas masih disebut anak bawang. Maklum saja, ilmu kompleksitas belum terlalu menarik bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Tak sedikit pula peneliti konvensional menentang aliran ilmu ini. Andai saja ada kolaborasi di antara mereka, bisa saja kita temukan titik terang dari permasalahan bangsa.