Penulis
Intisari-Online.com – Musibah kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet (SSJ) 100 di Gunung Salak beberapa waktu lalu telah menarik perhatian kita. Badan pesawat yang terbuat dari besi saja hancur berkeping-keping karena menabrak tebing gunung. Bagaimana dengan badan kita yang hanya terbentuk dari daging dan tulang yang ringkih? Keluarga korban masih sempat berharap mukjizat ada beberapa yang terselamatkan. Namun, rupanya Sang Pencipta berkehendak lain. Besarnya benturan pesawat mengakibatkan jasad penumpang dan awak pesawat tidak utuh lagi.
Ditemukannya jasad seluruh korban dalam kondisi tidak utuh membutuhkan proses identifikasi yang membutuhkan waktu lama. Apalagi dengan jumlah korban yang banyak. Butuh ketelitian tinggi agar potongan jasad yang diidentifikasi tidak tertukar. Pencocokan potongan tubuh korban yang tidak utuh pun tidaklah mudah. Terlebih lagi, potongan jasad ditemukan dalam kondisi terpencar. Oleh karena itu, pencatatan lokasi penemuan potongan tubuh sebelum dimasukkan dalam kantung jenazah sangat membantu proses identifikasi.
Dalam kondisi normal, identifikasi korban biasanya dilakukan dengan menggunakan teknik sidik jari. Teknik ini bisa digunakan untuk jasad yang hampir rusak asalkan kondisi jasad utuh. Sidik jari jenazah dibandingkan dengan sidik jari pada sidik jari antemortem. Antemortem merupakan pemeriksaan yang dilakukan melalui berkas dan laporan keluarga korban.
Bila teknik sidik jari tidak dapat digunakan, identifikasi dilakukan dengan teknik forensik odontologi, yaitu menggunakan gigi. Namun, syaratnya ada bagian gigi korban yang ditemukan. Keakuratan data identifikasi korban adalah melalui uji forensik deoxyribonucleic acid (DNA), yang keakuratannya mencapai 99,9%.
DNA adalah materi pembawa genetik yang diturunkan. DNA berada dalam inti sel dan mitokondria, yaitu bagian sel di luar inti yang menjadi penyedia energi bagi sel. Dalam inti SEL DNA membentuk untaian kromosom. Tiap manusia memiliki 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom somatik dan sepasang kromosom seks yang diturunkan dari ayah dan ibu.
Identifikasi dimulai dengan pengelompokan potongan tubuh yang diperoleh berdasarkan kesamaan karakter yang terlihat, seperti warna kulit, panjang tulang, dan postur tubuh. Tanda khusus dari korban, seperti tahi lalat, tanda lahir, gigi gingsul, atau tambalan gigi juga sangat membantu. Termasuk informasi adanya benda-benda yang melekat pada korban sebelum kecelakaan, seperti baju dan aksesori yang ditemukan.
Bagian-bagian tubuh yang telah dikelompokkan berdasarkan dugaan identifikasi fisik seseorang itu akan diambil contohnya untuk menjalani tes DNA. Namun, tidak semua potongan tubuh dicek DNA-nya karena tidaklah efektif dan memakan biaya banyak. Contoh untuk uji DNA bisa diambil dari bagian tubuh mana pun asalkan belum rusak, atau masih ada jaringan yang hidup, khususnya jaringan otot. Bagian tubuh yang lambat membusuk adalah jaringan gigi dan sel otot di bagian panggul.
Kemudian DNA ini dicocokkan dengan tes DNA yang diambil dari keluarga korban. Tes DNA pada keluarga korban bisa dilakukan dengan usapan mulut pada pipi sebelah dalam, rambut beserta akarnya, atau menggunakan darah sebanyak 2 ml sebagai sumber DNA. Sel darah yang digunakan adalah darah putih, bukan sel darah merah yang tidak memiliki inti sel.
Sementara informasi yang bisa diperoleh dari tulang adalah jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, dan prediksi waktu kematian. Secara umum, ukuran rangka pria lebih besar, memiliki area lebih luas untuk pelekatan otot daripada wanita. Dari tengkorak, dagu pria cenderung berbentuk lebih petak dan dahinya landai. Pada wanita, dagunya lebih lancip dan dahinya lebih lurus. Dari lengan dan tungkai pun ada perbedaan, pada perempuan lengan tidak lurus, sebaliknya para pria berlengan lurus. Sedangkan tungkai laki-laki berbentuk lurus, sedangkan perempuan agak lebar dan miring ke tengah.
Penentu jenis kelamin yang paling sering digunakan adalah dari tulang panggul. Sudut kemaluan pada tulang panggul perempuan lebih besar dibandingkan pria. Dari panjang tulang lengan atas, tulang paha, dan tulang lengan bawah, dapat diketahui tinggi badan pemilik tulang tersebut. Pengukuran tinggi badan ini penting saat bagian tubuh yang ditemukan sudah terpotong atau tersisa dalam bentuk tulang.
Sebagai jaringan paling keras dan resisten terhadap pembusukan, gigi dapat digunakan sebagai alat untuk mengenali individu dengan ketepatan gigi. Apalagi, bentuk gigi tiap individu mempunyai kekhasan sehingga ketepatannya mirip sidik jari. Pencocokan dengan data berdasarkan catatan medis pasien dari dokter gigi apabila korban pernah mencabut gigi, atau menambal gigi. Bisa juga dari pengenalan keluarga korban terhadap ciri-ciri gigi yang telah diidentifikasi.
Identifikasi terhadap gigi geligi juga dapat digunakan untuk menentukan usia korban, jenis kelamin, dan ras. Sebagai penentu umur, gigi dilihat berdasarkan proses pertumbuhannya. Antara usia 15 tahun dan 22 tahun dapat dilihat dari perkembangan geraham bungsu yang pertumbuhannya bervariasi. Bila gigi geligi sudah aus dan emailnya menipis hingga menyembulkan lapisan tulang gigi, maka korban bisa diperkirakan berusia sekitar 40 tahun.
Untuk mendapatkan laporan identifikasi yang lengkap, semua hasil identifikasi baik dari tulang, DNA, dan gigi digabungkan untuk mendapatkan kesimpulan bahwa si pemilik tubuh adalah A.
Nah, rumit dan butuh waktu untuk sampai memperoleh kesimpulan!(*)