Internet, Dunia Penuh Resiko

Jeffrey Satria

Penulis

Internet, Dunia Penuh Resiko

Intisari-Online.com - Dunia tanpa batas. Itulah bagaimana kita menyebutnya. Sejak kemunculannya pertama kali tahun 1960-an dan munculnya sistem TCP/IP di tahun 1982, Internet telah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan bagi manusia. Akses data yang mudah, kemampuan konektivitas, dan sumber informasi yang seakan tak pernah habis.

Namun bak pedang bermata dua, Internet juga menjadi momok tersendiri, khususnya bagi generasi digital zaman ini. Tahun 1996, Dr. Kimberly Young, pendiri dan pemimpin Center for Internet Addiction Recorvery, Amerika Serikat, mempresentasikan sebuah penelitian mengenai dampak buruk internet, yaitu kecanduan Internet. Berdasarkan hasil berbagai penelitian, Dr. Kimberly mendefinisikan kecanduan Internet sebagai perilaku kompulsif dalam melakukan kegiatan online hingga mengacaukan kehidupan sehari-hari, serta mengakibatkan timbulnya stres pada orang-orang terdekat, seperti keluarga dan teman.

Dr. Kimberly Young juga mengklasifikasikan tipe-tipe kecanduan Internet. Dari yang paling umum adalah cybersex atau cyberporn, online gambling atau judi online dan permainan online, dan kasus adiksi terbaru, yaitu compulsive surfing dan overload information. Kedua tipe adiksi ini banyak mengundang sorotan akhir-akhir ini bersamaan dengan munculnya running news dan media sosial semacam Twitter dan Facebook.

Derasnya informasi dari Internet melalui media sosial seperti Twitter dan running news yang menghadirkan berita dari detik ke detik, membuat sebagian kalangan pengguna internet jadi tenggelam dalam ledakan besar informasi. Portal-portal berita membuat berita-berita padat dan singkat dengan update hampir setiap menitnya. Media sosial semacam Twitter juga turut berperan dalam ledakan informasi ini. Aliran informasi sebanyak 140 karakter terpampang setiap harinya melalui komputer atau layar ponsel pintar. Bayangkan, bila seseorang mengikuti 200 orang, maka ada 200 informasi yang masuk setiap menit ke dalam otaknya.

Para pembaca running news dan media sosial yang menyerap informasi secara terus-menerus dalam skala masif tentu tak punya waktu banyak untuk membaca. Nielsen melaporkan bahwa kebanyakan halaman web dilihat selama kurang dari atau sama dengan sepuluh detik. Halaman web dengan link-link tertentu hanya dilihat dalam waktu singkat. Jurnal Media Pschology tahun 2007 menyebutkan, overload information ini membuat para konsumen running news dan media sosial macam Twitter menjadi kurang memahami suatu hal dengan mendalam.

Pertanyaanya, apakah hal ini sedang terjadi pada masyarakat Indonesia?

Menurut pakar IT Onno W. Purbo, derasnya aliran informasi melalui web dan media sosial seperti Twitter, tidak serta merta membuat seseorang kehilangan fokus baca. “Gak juga sih, itu tergantung orangnya aja sih. Memang Internet bisa membuat kita baca cepat dan seperti tidak fokus, tapi kalau lagi kena masalah seperti coding atau hacking ya terpaksa baca kalimat per kalimat dan berpuluh-puluh halaman,” ujarnya.

Menariknya, menurut Onno, ledakan informasi ini belum akan berdampak pada kecanduan internet, khususnya pada masyarakat Indonesia. Berkaca dari pengalamannya, euforia terhadap penggunaan internet biasanya terjadi pada kalangan pengguna pemula. Mereka yang baru pertama kali menggunakan Internet mungkin bisa betah duduk berjam-jam dan mengonsumsi berjuta informasi. Namun, lambat laun frekuensi penggunaannya akan semakin berkurang.

Onno juga menambahkan bahwa penggunaan Internet melalui ponsel pintar (smartphone) juga semakin bertambah. “Setahu saya sekarang akses Internet didominasi oleh selular sekitar 60%-an. Dan didominasi pula oleh anak-anak muda, dengan aplikasi kegemaran yaitu media sosial seperti Facebook dan Twitter,” ujarnya. Apakah hal ini akan mengancam minat baca anak muda? Tidak menurut Onno. Berdasar pengalamannya, informasi yang diberikan Internet justru membuat minat membaca dan belajar pada anaknya menjadi semakin tinggi. Menurutnya, Internet justru bisa menjadi menjadi sumber referensi bacaan-bacaan menarik.

Berita-berita singkat ala running news yang mengalir terus-menerus memang memudahkan mereka yang memiliki jam kerja tinggi. Dengan adanya running news dan media sosial, kesibukkan tak lagi menghalangi mereka untuk mendapatkan informasi. Onno sendiri tak mempersalahkan hal ini. Menurutnya, ini sebuah strategi yang baik, karena orang bisa menangkap informasi-informasi dengan cepat.