Find Us On Social Media :

Peralatan Digital Menyelamatkan Bahasa

By Agus Surono, Kamis, 14 Juni 2012 | 14:54 WIB

Peralatan Digital Menyelamatkan Bahasa

Intisari-Online.com - Aktivitas memperbarui status atau berkomentar di Facebook maupun jejaring sosial lainnya ternyata memiliki sisi positif tersembunyi: menyelamatkan banyak bahasa yang terancam kepunahan di dunia. Itulah yang diyakini ilmuwan.

Ada sekitar 7.000 bahasa yang diucapkan di seluruh dunia saat ini. Sekitar separuhnya diperkirakan terancam punah di akhir abad. Globalisasi dikecam sebagai pemicu musnahnya bahasa-bahasa itu. Namun beberapa elemen “dunia modern” itu, khususnya teknologi digital, membalikkan kecaman tadi.

Suku-suku di Amerika Utara menggunakan sosial media untuk merengkuh kembali anak-anak muda mereka. Tuvan, bahasa lisan orang-orang nomaden di Siberia dan Mongolia, bahkan memiliki aplikasi Iphone untuk mengajar pengucapan kata-kata ke murid baru.

“Bahasa-bahasa kecil menggunakan sosial media, You Tube, pesan singkat, dan bermacam-macam teknologi untuk melebarkan suara mereka dan melebarkan kehadiran mereka,” kata K. David Harrison, associate professor linguistik di Swarthmore College dan seorang National Geographic Fellow.

“Itulah yang saya suka sebut sisi lain globalisasi. Kita mendengar cerita yang banyak soal sisi negatif globalisasi pada kebudayaan kecil untuk bercampur. Namun efek positif globalisasi adalah Anda bisa membawa sebuah bahasa yang diucapkan oleh hanya lima atau 50 orang di wilayah terpencil ke pelosok dunia melalui teknologi digital.”

Harrison, yang menjelajahi dunia untuk mencari penutur terakhir dari bahasa yang hampir lenyap, telah menjelaskan pekerjaannya itu di depan pertemuan tahunan American Association for the Advancement of Science (AAAS). Bersama National Geographic ia baru saja memproduksi delapan kamus audio. Kamus ini berisi lebih dari 32.000 entri kata-kata dari delapan bahasa yang terancam punah. Semua rekaman audio dibuat oleh penutur asli, beberapa dari mereka seperti Alfred “Bud” Lane merupakan orang terakhir di kelompoknya.

Lane berbicara dalam bahasa yang dikenal sebagai Siletz Dee-ni, yang terisolir di wilayah kecil di pusat pantai Oregon. “Para ahli bahasa datang dan memberi tahu bahwa bahasa kami hampir punah. Artinya, hal itu seperti menuju ke tumpukan abu sejarah, dan masyarakat serta dewan adat memutuskan bahwa hal itu tak boleh terjadi. Maka, kami menyusun rencana untuk mulai mengajarkan dialek kami di Lembah Siletz ini,” kata Lane di depan pertemuan. 

Lane sudah mulai merekam 14.000 kata untuk kamus daring. “Tak ada percakapan antara satu orang dengan orang lain, namun setidaknya hal ini menjembatani sebuah jurang yang sangat dibutuhkan komunitas dan kaum adat kami.”

Margaret Noori adalah ahli dalam studi penduduk pribumi Amerika di University of Michigan dan pembicara dari Anishinaabemowin, yang merupakan bahasa yang digunakan di lebih dari 200 “bangsa” asli di Kanda dan AS. Masyarakat ini merupakan pengguna berat Facebook. “Apa yang kita lakukan dengan teknologi adalah mencoba untuk menghubungkan orang. Semua itu untuk menjaga bahasa.”

Dr Harrison menyatakan bahwa tak semua bahasa bisa bertahan dan banyak yang akan mati setelah penutur terakhir meninggal. Namun ia melihat bahwa peralatan digital yang baru bisa menawarkan bangkitnya kembali bahasa-bahasa di tepi jurang kepunahan itu.

Ia berbicara kepada BBC News, "Segala hal yang orang tahu tentang planet, soal tanaman, binatang, bagaimana hidup berkelanjutan, gunung es di kutub, perbedaan ekosistem tempat manusia harus bertahan – semua ilmu pengetahuan itu dikodekan dalam kebudayaan manusia dan bahasa manusia. Hanya sebagian kecil dari semuanya itu yang dipindahkan ke literatur ilmiah. Jika kita peduli soal kelanjutan dan kelangsungan hidup di planet, maka kita semua bisa mengambil untung dari bertahannya pengetahuan dasar ini."