Find Us On Social Media :

Warna-warni yang Berbicara

By Nur Resti Agtadwimawanti, Sabtu, 25 Agustus 2012 | 12:00 WIB

Warna-warni yang Berbicara

Intisari-Online.com - Pada era ‘70-an seorang psikolog asal Swiss, Max Lüscher, menciptakan sebuah tes kepribadian berdasarkan warna. Tes itu dikenal sebagai Lüscher test. Pendapat bahwa warna bisa memengaruhi proses psikologi pun mengemuka. Sayangnya, hasil penelitian tersebut dianggap kurang empiris sehingga banyak pula yang menyangsikannya. Menurut Dra. Ratna Djuwita, Dipl. Psych., psikolog sosial dari Universitas Indonesia (UI), memang banyak yang mengkritik pendapat Lüscher ini. “Bagaimana warna-warna bisa memengaruhi kepribadian? Orang pun kurang yakin bahwa warna itu berpengaruh,” tambah Ratna.

Pelbagai perbedaan pendapat tentang peran warna dalam psikologi semakin kentara. Misalnya Frank H. Mahnke, penulis buku Color, Environment, and Human Response, yang pada awalnya setuju dengan pendapat orang yang menegasikan Lüscher. Namun, seiring berjalannya waktu, Frank meyakini bahwa warna bisa memengaruhi kondisi psikologis seseorang. Meskipun sulit sekali dibuktikan, tapi bisa diobservasi. Paling gampang, efek tersebut dapat diamati di bidang komersial.

Misalnya, mengapa restoran cenderung memakai warna-warna “hidup” seperti merah, jingga, atau hijau? “(Karena) sudah pasti orang lebih senang datang ke sana, daripada (bila restoran) berwarna gelap,” tambah Ratna. Kemudian ada penelitian yang membuktikan bahwa anak kecil pun punya preferensi warna tertentu.

Banyak aspek

Tak dimungkiri, kita tak boleh melupakan pengaruh budaya. Bisa budaya yang berlaku secara umum atau sosialisasi warna yang kita dapatkan sejak kecil. Ratna mencontohkan, budaya Cina mengasosiasikan warna merah sebagai warna kegembiraan, sedangkan warna putih adalah warna duka. Tapi, bisa saja asosiasi itu berbeda di tempat lain. Di Indonesia, warna kuning melambangkan kematian. Nyatanya di Barat, mawar berwarna kuning dipakai untuk hiasan pesta. “Kita tidak bisa menerapkan (pemahaman tentang warna) secara generalisasi,” ujar Ratna.

Makna warna memang tak bisa berdiri sendiri. Bisa dipengaruhi proses sosialisasi norma-norma yang dipelajari ketika kita kecil. Misalnya pada seseorang telah diinternalisasikan sejak ia kecil bahwa memakai warna tertentu bisa menimbulkan rasa gembira. Nah, asosiasi inilah yang secara tidak langsung sering didengar dan dipahaminya. Jadi ketika sedih, dia akan memakai warna itu untuk membangkitkan kegembiraan.

Ratna mengamini adanya anggapan bahwa warna bisa melambangkan sifat tertentu, tapi lagi-lagi harus dilihat juga aspek budaya di mana orang tersebut hidup. Banyak budaya yang tidak bisa membedakan biru dengan hijau. Bagi mereka itu sama saja, karena di tempat budaya itu hidup memang jarang muncul kedua warna itu.

Senada dengan Ratna, Eric Santosa, Market Research dari Prompt, mengatakan bahwa warna itu sangat terkait dengan konteks. Konteks inilah yang memainkan peran.  Namun,  ia melihatnya begini, “Warna itu punya asosiasi yang sifatnya archetypal, artinya sesuatu yang dipahami secara universal.”

Misalnya warna hitam yang biasa diasosiasikan dengan kemaskulinan. Menurut Ratna, dari sisi psikologi, asosiasi ini pun relatif pada pengalaman orang. Bagi yang memang percaya diri dan merasakan demikian, pasti sesuai. Namun, bila dari kecil diajarkan bahwa warna hitam identik dengan kejahatan, tentu akan merasakan warna hitam itu secara berbeda. Di sini berperan aspek pengalaman signifikan yang pernah hinggap pada masa kecil.

Pun, ada faktor lain, semisal model dan bahan pakaian atau aksesori yang dipakai. Pakaian berwarna hitam dengan model kasual dan bahan yang tidak “wah”, tentu akan terlihat biasa saja. Berbeda jika pakaian tersebut bermodel formal, jas berwarna hitam misalnya. Kesan yang ditimbulkan adalah gagah, berwibawa, dan resmi. Inilah yang akan dirasakan pemakai atau pun yang melihatnya.

Selain itu, ada juga faktor kepribadian. Ada orang yang memang ingin menonjolkan dirinya dengan penggunaan warna tertentu. Dalam psikologi, mereka ini disebut extrovert yang cenderung suka dengan warna-warna yang “kelihatan”. Ada pula yang justru merasa terbebani ketika harus “terlihat” di kerumunan, yaitu introvert. Mereka akan lebih memilih warna-warna yang tidak mencolok.

Ratna mengatakan, secara logika saja sebenarnya kita sudah bisa mengasumsikan bahwa warna itu berpengaruh. Ia mencontohkan tingkat bunuh diri di Skandinavia yang tergolong tinggi. Ia mengaitkannya dengan kondisi Skandinavia, yang perbedaan siang-malamnya sangat drastis. Malam hari di sana jauh lebih lama. “Dalam cuaca mendung ‘kan kita cenderung sendu. Secara psikologis ada pengaruhnya. Beda dengan negara tropis yang cuacanya terang. Terang itu menimbulkan semangat.”

Namun, Ratna mengingatkan, suasana terang atau gelap itu juga tak bisa berdiri sendiri. Untuk kasus Skandinavia, misalnya. Bisa jadi tingginya tingkat bunuh diri itu karena memang sudah ada masalah-masalah yang membuat orang frustasi.