Find Us On Social Media :

Mitos Seputar Angka 4

By Rusman Nurjaman, Kamis, 1 November 2012 | 12:13 WIB

Mitos Seputar Angka 4

Intisari-Online.com - Bagi beberapa kelompok masyarakat tertentu, ada yang menganggap angka tidak sekadar huruf biasa yang mewakili suatu bilangan. Angka juga memiliki makna yang kompleks dan kerap dikaitkan dengan mitos-mitos tertentu. Angka 4, misalnya, selalu dikaitkan dengan tetrafobia, sebuah kekhawatiran atau ketakutan terhadap angka 4.

Karena itu, kita mendapati beberapa gedung (hotel, apartemen, perkantoran, plaza) di Jakarta tidak memiliki lantai 4, atau sesuatu yang berhubungan dengannya (14, 24, 34, 40-49, dst). Bahkan produsen perangkat teknologi komunikasi yang paling canggih dan jadi ikon kemajuan zaman pun tak luput dari tetrafobia ini. Tengok saja Nokia yang tak pernah mencantunkan angka 4 pada semua seri produknya.

Di negara-negara Asia Timur, tetrafobia merupakan takhayul paling umum. Kebudayaan setempat menganggap angka 4 sebagai pembawa sial. Tak ayal, jika penggunaan angka ini pun dihindari. Di pelbagai tempat, baik hotel, apartemen, lift, rumah sakit, perumahan, lantai atau blok nomor 4 tidak digunakan. Sebagai gantinya, dipakailah 3A, 12A, 23 A, atau F (four) tidak digunakan. Apa pasal?

Usut punya usut, dalam bahasa Mandarin kata untuk empat (pinyin: sì, jyutping: sei), bunyinya mirip dengan kata kematian (pinyin: s?, jyutping: sei). Begitu juga dalam bahasa Asia Timur lain, shi (bahasa Jepang) dan sa (bahasa Korea). Pelafalannya terdengar sama dengan kematian. Maka, menurut tradisi Tionghoa dan ramalan fengshui angka 4 dipercaya sebagai simbol bencana, tidak mendatangkan keberuntungan, dan berbagai kepercayaan yang mengarah pada sebuah kegagalan.

Bila disejajarkan dengan alfabet pun, huruf keempat adalah “D” yang bisa berarti “death”. Sebagian orang juga menghubungkannya dengan angka sial dari kebudayaan Barat, yaitu 13 (1+3=4). Sebegitu burukkah mitos yang melekat pada angka yang bentuknya mirip kursi terbalik ini?

Betapa tak masuk akal kepercayaan semacam ini. Alih-alih memperdebatkannya, ada baiknya kita hormati saja. Toh tidak semua hal bisa kita pertanyakan. Namun, kita juga tidak harus serta merta mengikutinya.