Find Us On Social Media :

Kisah Terang Lampu Jalanan

By Nur Resti Agtadwimawanti, Rabu, 30 Januari 2013 | 06:00 WIB

Kisah Terang Lampu Jalanan

Intisari-Online.com - "Meski keluar rumah sekadar untuk mencari makan malam, tinggalkanlah surat wasiat!" Begitulah kira-kira ucapan seorang penulis pada masa Kekaisaran Romawi. Ya, saking bahayanya tak ada penerangan jalan ketika itu.

Pernahkah terbayangkan melewati malam tanpa penerangan jalan? Itu dirasakan benar oleh masyarakat dunia sebelum abad XIX. Begitu jatuh malam, hanya sinar bulan yang jadi andalan. Sayang, pendar terangnya hanya muncul beberapa hari setiap bulan. Sinar suram lilin di balik jendela kaca atau obor yang dibawa oleh seorang pengelana pun memadai sudah.

Banyak orang lebih memilih berdiam di rumah setelah gelap. Selain sulitnya menemukan jalan ke tempat tujuan, juga takut diserang penjahat. Sedemikian berbahayanya gelap malam itu hingga penulis pada masa Kekaisaran Romawi, Juvenal, pernah memperingatkan, "Meski keluar rumah sekadar untuk mencari makan malam, tinggalkanlah surat wasiat!"

Lampu, yang konon dari bahasa Yunani lampas yang berarti obor, dikenal sejak 70.000 tahun SM, tapi teknologi masa itu memang masih primitif. Baru mulai abad XV masyarakat Eropa mengenal lampu jalanan meski masih dalam bentuk sederhana; berupa lentera yang dipasang di luar rumah. Bahan bakar lampu masih berupa minyak zaitun, lilin lebah, minyak ikan, atau lemak ikan paus. Bahkan kemudian minyak tanah.

Keadaan lebih baik terjadi di AS. Lampu-lampu jalanan berbahan bakar minyak ikan paus yang digantungkan di tiang hampir tersebar merata di beberapa kota besar, terutama New York. Begitu pun masih banyak warga mengeluh lampu itu tidak efisien dan kurang terang.

Baru mulai 1784 diperkenalkan bahan bakar gas batu bara dan gas alam, meski gas batu bara kurang aman. Pemakaian lampu gas untuk penerangan jalanan pada abad XIX sangat mengubah situasi. Orang mulai merasa aman berjalan-jalan di malam hari. Meski tak sedikit yang menolak dengan alasan lampu akan membuat kuda ketakutan. Sebagaimana penggunaan di kota Eropa lainnya, tahun 1830 lampu jalan berbahan bakar gas mulai digunakan di wilayah yang lebih luas di beberapa kota di AS, khususnya New York.

Revolusi teknologi penerangan terjadi pada pertengahan abad XIX setelah orang gencar melakukan percobaan dengan listrik. Meski pada 1845-an telah banyak orang menghasilkan lampu listrik, baru pada tahun 1878 Joseph Swan di Inggris dan Thomas Alva Edison di AS pada 1879 secara terpisah berhasil menemukan lampu pijar. Dengan sistem bola lampu hampa udara, filamen dari kawat karbon yang berpijar karena panas listrik membuat lampu pijar bersinar lebih terang dan tahan lama. Makanya dinilai cocok sebagai lampu jalanan.

Tak lama kemudian lampu karya Edison terpasang di jalan New York dengan pasokan listrik dari pembangkit di Pearl Street yang didirikan sejak 1882. Konon, stasiun pembangkit ini prototipe dari semua stasiun pembangkit di seluruh dunia yang ada sekarang.

Lampu jalanan listrik diakui sangat membantu menurunkan angka kejahatan di jalan raya AS. Terlebih setelah kehadiran mobil yang menuntut lampu jalan lebih terang, sehingga tahun 1930-an lampu merkuri dan sodium pun mulai digunakan. Sungguh kita harus bersyukur dengan penerangan efisien dan murah yang kini sudah dianggap biasa. Padahal tingkat penerangan sebuah lampu neon biasa, bila diganti lilin perlu biaya 500 kali lebih mahal! (Intisari)