Find Us On Social Media :

'Landing' Yang Rawan Musibah

By Agus Surono, Selasa, 16 April 2013 | 18:00 WIB

'Landing' Yang Rawan Musibah

Intisari-Online.com - Tanggal 13-4-2013 pesawat Lion Air JT 904 gagal mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali dan tercebur di laut beberapa puluh meter dari landasan bandara. Kejadian ini bukan yang pertama kali dialami Lion Air.

Percaya atau tidak, kecelakaan yang menimpa pesawat terbang sering terjadi saat pesawat itu melakukan pendaratan. Data di Amerika Serikat juga membuktikan hal itu. Mau tahu sebabnya? Tulisan ini disadur dari majalah Intisari edisi Februari 2007, h. 69.

Awal tahun 2007, tepatnya 18 Januari, Bandara Hasanuddin Makassar harus ditutup selama dua jam lantaran pesawat terbang Lion Air tergelincir di landasan pacu ketika mengakhiri penerbangannya dari Ambon.

Saat kecelakaan terjadi, waktu menunjukkan pukul 15.30 WITA dan hujan turun begitu derasnya disertai angin kencang. Sebanyak 114 penumpang dan enam orang awak pesawat yang ada di dalamnya selamat. Hanya saja, pesawat lain yang hendak mendarat harus rela membatalkan rencana itu dan mengubah arah menuju Bandara Ngurah Rai, Denpasar.

Lalu, 24 Desember 2006, pesawat B 737-400 Lion Air juga tergelincir ke luar landasan saat mendarat. Lagi-lagi di Bandara Hasanuddin Makassar. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Namun, lalu-lintas penerbangan dari dan ke bandara itu sempat terganggu oleh keberadaan pesawat terbang yang “jatuh pingsan” itu. Karena sulit dievakuasi, pesawat terpaksa dipotong di bagian salah satu mesinnya.

Kejadian serupa sering terjadi di Tanah Air. Hanya saja, tidak semuanya seberuntung peristiwa di atas. Masih banyak peristiwa kecelakaan pesawat terbang saat melakukan pendaratan yang berujung pada jatuhnya korban jiwa. Ini menunjukkan, pendaratan pesawat merupakan proses kritis dari pengoperasian sebuah pesawat terbang.

Perlu banyak dukungan

Siapa pun tahu, waktu yang diperlukan untuk take off atau lepas landas dan landing atau mendarat jauh lebih singkat dibandingkan dengan seluruh waktu penerbangan itu sendiri. Namun, kedua fase kritis itu ternyata menunjukkan potensi risiko rawan kecelakaan yang lebih besar dibandingkan dengan keseluruhan fase penerbangan.

Jika dicermati lagi, ternyata tahap pendaratan berisiko lebih besar dibandingkan dengan tahap lepas landas. Seorang pendidik dan instruktur terbang senior Amerika Serikat, Paul A.C., mengutip angka dari NTSB (Badan Keselamatan Penerbangan Amerika Serikat). Sebanyak 1.875 kali kecelakaan di Amerika Serikat terjadi akibat pendaratan fatal, termasuk di dalamnya kecelakaan penerbangan di sekolah-sekolah penerbangan, penerbangan santai, atau olahraga. Semuanya terjadi dalam kurun waktu 17 tahun saja (1983 - 2000).

Ada beberapa faktor yang membawa pendaratan pesawat terbang lebih berisiko. Berbeda dengan proses lepas landas yang dimulai dari gerakan lambat pesawat yang menjadi semakin cepat, pendaratan justru dimulai dari kecepatan jelajah yang kemudian berangsur melambat, ditambah lagi dengan adanya gaya tarik Bumi terhadap bobot pesawat yang bergerak turun itu.

Dari faktor manusia juga terjadi perbedaan antara saat lepas landas dengan saat mendarat. Ketika lepas landas, umumnya pilot dalam kondisi lebih segar sesudah beristirahat. Sebaliknya ketika pendaratan, pilot berada dalam kondisi yang relatif lebih lelah akibat kejenuhan dalam lingkungan penerbangan, sehingga staminanya menurun. Dengan demikian juga kewaspadaan pilot ikut mempengaruhi. 

Lalu apa faktor yang mendukung keberhasilan pendaratan sebuah pesawat terbang? Yang pertama adalah fasilitas yang dimiliki sebuah bandara tempat pesawat itu mendarat. Ambil contoh, Bandara Hasanuddin, Makassar. Bandara itu memiliki fasilitas yang cukup lengkap dan canggih. Misalnya, Automatic Landing Systems (ALS), FASI (untuk melihat sudut ketinggian posisi pesawat pada fase mendarat), dan peralatan radar. Melalui fasilitas ini, saat hendak mendaratkan pesawat, pilot sudah mendapat informasi lengkap tentang kondisi cuaca sesaat di tempat tujuan, meski cuaca dapat berubah dalam hitungan detik.