Penulis
Seorang anak laki-laki cerdas berusia 10 tahun sering membuat geram ayahnya karena dia tidak disiplin, sulit diatur, menolak, dan berpura-pura tak tahu jika dimintai bantuan. Maklum, selain di kantor, di rumah pun kadang ayahnya masih sibuk di depan meja tulis. Tak jarang dia membutuhkan sekadar secarik kertas yang kebetulan tertinggal di meja di dalam kamar. Dia meminta si anak laki-laki mengambilkan kertas itu. Namun, berbagai macam dalih anak itu menolak permintaan sang ayah.
Dalam kehidupan sehari-hari, sudah sering dia menampilkan sikap seolah dirinya tidak mendengar permintaan sang ayah dan anggota keluarga lainnya. Ditambah lagi, anak itu sering seenaknya sendiri. Bahkan dia malas mandi, kendatipun ayah, ibu, paman dan bibinya berulang kali mengingatkan agar dia segera mandi. Ada saja alasan yang dipakai sebagai dalih untuk menolak.
Padahal, sesungguhnya bocah tersebut adalah insan cerdas. Dia bukan pengidap gangguan jiwa. Memang ada gangguan jiwa, semisal skizofrenia kronis, yang sungguh menghancurkan daya (volition) pada pengidapnya. Kehancuran daya kehendak itu antara lain melahirkan kemalasan luar biasa parah. Perwujudannya macam-macam. Bisa enggan mandi, bahkan malas merawat diri.
Anak cerdas tadi, sama sekali bukan pengidap skizofrenia. Ayahnya pun tahu bahwa dia cerdas dan kreatif. Namun, sang ayah sering menjadi sangat marah karena sikap seenaknya yang ia tampilkan. Justru sekarang si ayah merasakan sulit mengendalikan amarah tatkala menghadapi kebandelan si anak. Dia menyadari, ledakan amarah yang kadang menyembur dari dirinya agak berlebihan. Tanpa bisa dikontrol, secara otomatis ia memukuli anaknya. Kendati beberapa saat kemudian sang ayah menyesal atas tindakannya, tetapi dia sungguh menyadari bahwa pada saat marah ia tak bisa mengatasi otomatisme (kesertamertaan) pemukulan itu.
Kisah di atas merupakan salah satu ilustrasi dari kejadian nyata, yang menunjukkan betapa keengganan manusia untuk mendengarkan dan menanggapi orang lain, bisa menjadi batu sandungan fatal dalam hubungan antarsesama. Relasi ayah (yang sesungguhnya baik hati dan bijaksana) dan anak (yang sesungguhnya cerdas dan kreatif) pun bisa porak poranda karena keengganan mendengarkan dan menanggapi.
Pada titik ini perlulah disadari, betapa kesediaan mendengarkan dan menanggapi orang lain itu sangat penting. Namun, sesungguhnya di tengah kehidupan nyata sehari-hari, tidak jarang manusia dibelit kebiasaan enggan mendengarkan dan menanggapi orang lain. Belitan kebiasaan tersebut menjadikan kita sangat tidak peka terhadap suara orang lain. Kebiasaan memang bisa menjadikan segara ketidakbaikan sebagai "kewajaran baru". Sebagai kewajaran baru, ketaksudian menanggapi dan mendengarkan orang lain justru akan berakibat negatif.
Ironis tentang ketidaksudian manusia mendengarkan dan menanggapi sesamanya tergambarkan pada kisah kelahiran perusahaan raksasa Apple Computers. Ternyata perusahaan tersebut lahir di sebuah garasi. Di dalam garasi itu, seorang anak yang kaya ide kreatif gemilang, berkutat dengan karya-karya inovatifnya. Mengapa di dalam garasi? Karena suara dan ide-ide anak itu tidak pernah didengarkan dan ditanggapi oleh orang-orang mapan yang berkantor di gedung-gedung mewah. Anak yang penuh ide kreatif gemilang tersebut sudah menjajakan ide kepada orang-orang terpandang. Namun, ia tidak ditanggapi dan tak didengarkan.
(Sumber: Psikologi Anak)