Kedengarannya ekstrem. Tapi ini salah satu saran seorang dokter spesialis anak asal Amerika Serikat kepada para orangtua agar perkembangan otak dan kemampuan anak berkembang dengan baik.Memangnya, apa dampak buruk televisi terhadap otak? Bagaimana dengan program-program televisi yang dikhususkan untuk anak-anak seperti Sesame Street atau film anak-anak Snow White misalnya?Televisi sesungguhnya hanya memberikan informasi kepada dua indera: mata dan telinga. Padahal ketajaman visual dan pandangan tiga dimensional pada anak belum berkembang sepenuhnya sampai usia empat tahun. Gambar yang dihasilkan layar televisi itu gambar dua dimensi, tidak fokus dan kabur karena tersusun dari titik-titik sinar. Itu membuat mata anak-anak harus memaksa diri agar gambar menjadi jelas.Televisi, juga barang elektronik lain, memancarkan gelombang elektromagnetik. Maka disarankan, posisi menonton setidaknya 120 cm dari TV dan 45 cm dari layar komputer.Sistem visual yang meliputi kemampuan mencari (search out), memindai (scan), memfokus, dan mengidentifikasi apa yang masuk ke bidang pandang, terganggu oleh kegiatan menonton TV. Padahal keterampilan visual ini perlu dikembangkan dalam kaitannya dengan membaca efektif. Saat menonton, pupil mata anak tidak melebar, dan nyaris tidak ada gerakan mata yang justru penting dalam kegiatan membaca. Mata dituntut terus bergerak dari kiri ke kanan halaman saat membaca.Kemampuan untuk memusatkan perhatian juga mengandalkan sistem visual ini. Sementara itu gambar-gambar televisi yang berubah secara cepat tiap 5 - 6 detik pada kebanyakan tayangan acara dan 2 - 3 detik pada iklan, membuat otak pikir tidak punya kesempatan memprosesimage. Padahal otak pikir perlu 5 - 6 detik untuk memproses gambar begitu mendapat stimulus.Tayangan Sesame Steet, misalnya, menurut Susan R. Johnson, M.D., dokter spesialis anak asal San Francisco dan pernah mendalami ilmu kesehatan anak yang berkaitan dengan perilaku dan perkembangan, membius fungsi-fungsi otak pikir danmerusak keseimbangan serta interaksi antara belahan otak kiri dan otak kanan. Kebanyakan acara televisi untuk anak meletakkan belahan otak kiri dan sebagian belahan otak kanan ke dalam gelombang alfa (slow wave of inactivity).Secara umum, membaca menghasilkan gelombang beta cepat dan aktif, sedangkan menonton televisi meningkatkan gelombang alfa lambat di belahan otak kiri dan kanan. Belahan kiri merupakan pusat penting dalam kegiatan membaca, menulis, dan berbicara. Otak kiri merupakan tempat di mana simbol-simbol abstrak (misalnya huruf-huruf alfabet) dikaitkan dengan bunyi. Sumber cahaya televisi yang berpendar dan bergetar diduga ada kaitannya dengan meningkatnya aktivitas gelombang lambat itu.Otak primitif tidak dapat membedakan mana gambar riil dan mana gambar di TV karena penglihatan merupakan tanggung jawab otak pikir. Karena itu, ketika TV menayangkan gambar-gambarclose-updan gambar-gambar bercahaya secara tiba-tiba, otak primitif bersama otak limbik segera menyiapkan respons "hadapi atau lari" dengan melepaskan hormon dan bahan kimia ke seluruh tubuh. Degup jantung dan tekanan darah naik. Darah yang mengalir ke otot-otot anggota badan meningkat, bersiap-siap menghadapi keadaan bahaya.Karena itu terjadi dalam tubuh tanpa diikuti gerakan-gerakan yang sesuai dari anggota badan, maka acara-acara TV tertentu sesungguhnya meletakkan kita ke dalam suatu keadaan stres atau kecemasan kronis. Berbagai studi menunjukkan, pada orang dewasa yang mengalami stres kronis pertumbuhan belahan otak kirinya terhenti (atrophy).Ketika otak anak dipapari rangsangan visual sekaligus suara, yang diserap hanyalah visualnya. Ilustrasi tentang fenomena ini dapat dilihat pada sekelompok anak (6 - 7 tahun) yang disuguhi tontonan video yang suaranya tidak sesuai dengan gerakan visualnya. Begitu ditanya, mereka tidakngehkalau suara dan gambarnya tidak klop. Itu artinya, mereka tidak menyerap isi tontonannya. Begitu pula denganSesame Street.Inteligen hatiBisa saja Anda berkilah, "Apa salah memanfaatkan televisi sekadar untuk hiburan? Saya suka menonton film-film Disney macamSnow White."Televisi memiliki efek begitu dalam terhadap kehidupan perasaan atau jiwa kita. Menonton televisi membuat kita terlepas dari kehidupan nyata. Di kursi yang nyaman di ruang yang sejuk dengan banyak makanan, kita duduk menonton para tunawisma, orang kelaparan atau menderita di layar kaca. Kita tersentuh melihat nasib mereka, tetapi tidak berbuat apa-apa. Orang boleh bilang, membaca buku pun dapat membangkitkan perasaan serupa tanpa berbuat apa-apa.Namun, menurut dr. Susan, saat sedang membaca buku (yang tidak banyak gambarnya), pikiran bisa berimajinasi dan punya kesempatan memikirkannya. Pikiran itu dapat menggiring anak kepada gagasan yang menimbulkan inspirasi untuk melakukan sesuatu. Televisi tidak begitu.""Kita tidak akan lupa dengan apa yang pernah kita lihat. Otak limbik dihubungkan dengan memori, dan gambar di TV kita ingat entah secara sadar, tanpa sadar, atau bawah sadar. Maka, kita hampir tidak mungkin menciptakan imajinasi tentangSnow Whitedari buku cerita jika kita sudah pernah menonton filmnya. Sebaliknya, orang sering kecewa ketika menonton film setelah membaca bukunya. Imajinasi kita itu jauh lebih kaya daripada apa yang dapat ditunjukkan di layar film," papar dr. Susan.Ketika menonton televisi, anak-anak tidak menggunakan imajinasi sama sekali. Itu berarti bagian tertentu di otak pikir untuk menciptakan gambaran (yang merupakan fondasi bagi angan-angan, intuisi, inspirasi, dan imajinasi), kurang dilatih.Kita dibekali kemampuan yang disebutheart intelligenceyang perlu dikembangkan antara lain dengan berinteraksi dengan orang lain. "Kita mengalami bahasa nonverbal mereka, misalnya bagaimana ia bergerak, bagaimana nada suaranya, apakah ia menatap ke arah lain saat bicara. Inilah cara kita belajar melihat konsistensi antara isyarat verbal dan nonverbal untuk menemukan kebenaran," jelas dr. Susan.Televisi tidak bisa mengembangkan kemampuan itu.Jadi, masihkah membiarkan anak-anak menghabiskan waktu di depan TV?