Find Us On Social Media :

Yakin Mau Cerai?

By Agus Surono, Senin, 31 Oktober 2011 | 11:15 WIB

Yakin Mau Cerai?

Intisari-Online.com - Data Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kementerian Agama menyatakan bahwa tingkat perceraian di Indonesia tiap tahun selalu meningkat. Menurut data terakhir, angkanya mencapai 10%. Artinya, 1 dari 10 pasangan berakhir cerai.Menarik menyimak penyebab perceraian. Penyebab utama perceraian (51%) adalah masalah ekonomi. Disusul (32%) ketidakharmonisan - perselisihan yang terus-menerus dan tidak bisa didamaikan lagi. Ketiga (11%) masalah orang ketiga, selingkuh, cemburu, dan poligami yang tidak sehat. Selebihnya adalah penyebab-penyebab kecil yang persentasenya tidak begitu banyak. Bisa dilihat bahwa penyebab perceraian tak lepas dari harta dan seks.Patut diperhatikan bahwa dampak perceraian tidak saja terhadap pelaku, baik suami atau istri, tapi juga anak pada kasus perceraian pasangan yang sudah memiliki momongan. Psikolog keluarga Anna Surti Ariani yang akrab dipanggil Nina mengingatkan, perceraian bukanlah akhir dari ketidakbahagiaan. "Bagi orangtua, perceraian itu mungkin hanya satu babak dalam hidupnya. Tapi bagi anak, perceraian orangtuanya akan berpengaruh terhadap keseluruhan hidupnya,” katanya. Mengutip penelitian, Nina mengatakan bahwa anak-anak dari keluarga cerai punya kemungkinan lebih besar mengalami masalah di sekolah maupun di rumah. Mereka bisa menjadi anak yang minder. Kalau laki-laki, mereka mungkin menjadi biang onar di sekolah. Kalau perempuan, mereka mungkin menjadi korban hamil muda di luar nikah.Saat perceraian, seluruh hidup anak dipertaruhkan. Bagi kita, orang dewasa, masalah-masalah seperti ini mungkin luput dari pertimbangan saat memutuskan bercerai. “Saya mengasuh majalah remaja, banyak sekali menerima keluhan remaja mengenai orangtua mereka yang bercerai. Orangtua mungkin tidak sadar, tapi itu masalah yang sangat besar bagi si anak,” ucapnya. Jadi, kalau kita bilang bahwa kita memutuskan bercerai karena sayang anak, maka pernyataan itu harus diuji ratusan kali. Bila perlu, ribuan kali. Setelah hakim mengetok palu, biasanya keputusan cerai diikuti oleh keputusan mengenai hak asuh anak. Sebagian besar hak asuh anak jatuh ke pihak ibu sementara pihak ayah diwajibkan memberi nafkah bulanan buat si anak itu lewat ibunya. Ia berhak bertemu anaknya pada waktu-waktu tertentu. Pada kenyataanya, pengaturan hak dan kewajiban ini tidak berjalan baik. Mungkin pihak ayah tidak memberikan nafkah yang sesuai, lalu si ibu  mempersulit mantan suaminya bertemu anaknya. Lalu anak diculik sana-sini.Hal lain yang patut dipikirkan sebelum bercerai adalah amatan Nina bahwa orang yang berasal dari keluarga cerai punya kemungkinan lebih besar untuk juga bercerai. Penjelasannya tentu saja bukan hukum Mendel tentang pewarisan sifat genetik. Ini lebih ke pembentukan pola pikir. Seorang anak yang dibesarkan di dalam keluarga cerai akan memiliki banyak persepsi buruk tentang lembaga pernikahan. Akibatnya, ketika dihadapkan pada konflik rumah tangga, ia pun dengan mudah memutuskan cerai.Nina lalu memberi contoh kliennya, seorang perempuan muda, cantik, pintar, usia 35 tahun sudah menjadi pejabat penting di salah satu bank. Dalam urusan karier, prestasinya tak perlu diragukan. Tapi dalam urusan rumah tangga, ia masih labil dan sering mengeluhkan suaminya dalam urusan-urusan yang mestinya bisa diselesaikan dengan mudah oleh orang yang terdidik macam dia. Usut punya usut, ternyata ia berasal dari keluarga cerai. Saat orangtuanya bercerai, dia belum genap berusia satu tahun. Masih bayi yang belum mengerti apa-apa. Setelah or angtuanya bercerai, dia diperebutkan oleh keluarga ibu dan bapaknya. Ia tumbuh di dalam konflik dua keluarga dan menjadi korban penculikan sana-sini. Saat berada di keluarga bapaknya, ibunya dijelek-jelekkan. Saat berada di rumah ibu, bapaknya dijelek-jelekkan. Pada saat yang sama ia ditolak oleh orangtua tiri. Rupanya pengalaman ini berbekas dan terbawa seumur hidup. Sekalipun ia bisa berprestasi, kematangan psikologisnya tak sebanding dengan prestasi kerjanya. Seringkali orangtua tak berpikir tentang efek buruk semacam ini pada anak. Orangtua hanya berpikir, pokoknya cerai, selesai. Padahal bisa jadi masalah pacsacerai itu jauh lebih kompleks daripada konflik dalam rumah tangga. Itu sebabnya orang yang berpikir untuk bercerai sangat dianjurkan untuk membicarakan masalahnya kepada konselor, ahli agama, mediator, atau sejenisnya. Tujuannya jelas, untuk melihat perceraian dari segala sisi, baik maupun buruknya. Nah, bagi yang sedang mempertimbangkan cerai, tataplah anak Anda saat tidur. Atau tataplah matanya saat bertatap mukanya. Ingat juga ucapan sastrawati Kanada yang pernah bercerai, Margaret Atwood. Perceraian ibarat amputasi. Ia mungkin menyelamatkan hidup kita, tapi setelah itu diri kita tidak lengkap lagi. (Intisari Nov 2011/Emshol)