Find Us On Social Media :

Pekerjaan: Bapak Rumah Tangga

By Agus Surono, Senin, 12 Desember 2011 | 15:00 WIB

Pekerjaan: Bapak Rumah Tangga

Intisari-Online.com- Sekarang ini sudah mulai bermunculan suami yang tinggal di rumah sementara istri bekerja kantoran. Sang suami bukannya tanpa kerja, namun ia lebih memilih bekerja di rumah sambil mengasuh anak, meski ada yang tak punya pekerjaan. Pertukaran peran ini tak hanya terjadi di kota besar, bahkan sudah banyak dilakukan di kota kecil. Salah satu Bapak Rumah Tangga (BRT) atau yang di luar negeri disebut stay-at-home dad (SAHD) adalah Sri Mahamat Maaji. Ia tinggal di Yogyakarta. Sejak tahun 2002, lulusan Universitas Negeri Yogyakarta ini berperan sebagai Bapak Rumah Tangga sementara istrinya, Wiwin Pratiwanggini, berkarir sebagai karyawan kantoran.

Tugas rumah tangga yang umumnya dilakukan para istri dengan enteng dilakukan Ahmat, begitu ia disapa. Bahkan istrinya memuji soal kemampuan memasak sang suami. Pekerjaannya adalah mengantar istri, menemani anak belajar, membersihkan rumah, memasak, dan terkadang mencuci baju. Ahmat dan Wiwin sendiri menjelaskan secara gamblang alasan keputusan mereka. Wiwin bercerita, sejak sebelum menikah ia telah memiliki gaji yang lumayan besar untuk standar hidup di Yogya. Suaminya memang tidak mempunyai pekerjaan tetap. "Wis, pokokeapa saja yang bisa jadi duit dijalani, asalkan halal. Maka dari itu, walaupun tidak diputuskan secara "resmi" hehe he ya, akhirnya saya terus bekerja hingga kini," terang Wiwin.

"Saya memilih untuk melakukannya dengan satu niatan: demi tercapainya keharmonisan berumah tangga," tandas Ahmat. Ia meminggirkan ego gender untuk sesuatu yang lebih bernilai luhur.

Menurut Ahmat, keharmonisan rumah tangga diraih dengan kemauan dan keterbukaaan antara suami istri. Dengan begitu, masing-masing dapat meminimalkan atau menutupi kekurangan pada pasangannya. "Intinya, stay at home dad adalah sebuah jalan atau cara dari sekian banyak cara tepat untuk membangun 'istana rumah tangga yang harmonis'," rangkum Ahmat.

Wiwin sendiri mengakui tergantung dengan suaminya. Dia tidak bisa bepergian sendirian. Selain itu, "Saya lebih mantap bila suami yang menjaga anak kami, sehingga suami tidak keberatan stay at homeasalkan kehidupan kami bisa berjalan dengan baik," timpal Wiwin.

Memusatkan perhatian pada anak

Keputusan menjadi SAHD umumnya didasarkan atas pertimbangan rasional suami-istri. Dr. Robert Frank, asisten profesor psikologi di Oakton Community College, Chicago, yang juga pernah menjadi bapak rumah tangga dan pernah melakukan penelitian tentang hal ini menyatakan demikian. Kebanyakan pria melakukannya bukan karena di-PHK atau “kalah bersaing” di dunia kerja. Hanya 25% yang melakukannya karena hal tersebut, sedangkan sisanya secara sadar menginginkan peran ini. 

Sejumlah ahli melihat setidaknya ada dua kondisi yang menjadi alasan. Kondisi pertama, istri terbukti mampu berkarier lebih tinggi dan menghasilkan lebih banyak uang. Kondisi kedua, pasangan-pasangan tersebut tidak menginginkan orang lain untuk mengasuh anak mereka. Kebanyakan keluarga menengah di AS tidak memiliki asisten rumah tangga (ART). Selain karena tingginya gaji pengasuh anak dan ART, mereka terbiasa mengerjakan segala sesuatunya secara mandiri.

Kemunculan SAHD di Indonesia juga diduga karena faktor-faktor yang sama. Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., psikolog anak dan keluarga, melihat hal tersebut. Dulu, suami memang menjadi satu-satunya pencari nafkah (breadwinner), tapi kini situasinya berubah. Adanya kesempatan bekerja dan kesempatan terdidik lebih luas bagi perempuan membuat istri mampu berperan setara dengan suaminya. Bahkan, istri mungkin dapat menghasilkan lebih banyak uang bagi keluarga. Jadi, "Tidak ganjil bila lelaki itu bekerja di rumah," cetus perempuan yang akrab disapa Nina ini.

Tetapi, benarkah lelaki bisa telaten mengurus anak? Sebuah penelitian antropologi terbaru di Universitas Northwestern, AS, yang diterbitkan secara daring dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, menyatakan bahwa tingkat testosteron para ayah lebih rendah dari laki-laki yang tidak menjadi ayah. Temuan ini hasil penelitian jangka panjang pakar antropologi biologis universitas tersebut, Christopher Kuzawa, terhadap sekelompok laki-laki di Filipina dari 2005- 2009. Dalam jangka waktu itu, sebagian laki-laki menjadi ayah, dan lainnya tidak.

"Laki-laki yang menjadi ayah mengalami penurunan tingkat testosteron terbesar," ungkap Kuzawa. Fakta ini, menurutnya, menjelaskan ayah mampu lebih memusatkan perhatian dalam pengasuhan anak.

Namun, tantangan terberat bagi para bapak rumah tangga sebenarnya bukan soal itu. Nina menilai tantangan terbesar bagi bapak rumah tangga adalah mengatasi ego kelelakiannya, terutama mereka yang hidup di tengah masyarakat dengan kultur patriarki kuat, seperti di Indonesia. Menurutnya, kesiapan suami menjadi bapak rumah tangga tergantung dari nilai maskulinitas yang dia anut. Lelaki yang memegang kuat nilai maskulinitas tradisional (yang memosisikan ayah sebagai penanggung keluarga, harus bekerja, harus diladeni istri dan anak-anak, serta tak perlu mengurus rumah) akan tersiksa menjadi bapak rumah tangga. Umumnya lelaki Indonesia seperti ini. "Gajinya lebih kecil sedikit dari istrinya saja sudah tersiksa," kata Nina.