Penulis
Intisari-Online.com- Sekarang ini sudah mulai bermunculan suami yang tinggal di rumah sementara istri bekerja kantoran. Sang suami bukannya tanpa kerja, namun ia lebih memilih bekerja di rumah sambil mengasuh anak, meski ada yang tak punya pekerjaan. Pertukaran peran ini tak hanya terjadi di kota besar, bahkan sudah banyak dilakukan di kota kecil. Salah satu Bapak Rumah Tangga (BRT) atau yang di luar negeri disebut stay-at-home dad (SAHD) adalahSri Mahamat Maaji. Ia tinggal di Yogyakarta. Sejak tahun 2002, lulusan Universitas Negeri Yogyakarta ini berperan sebagai Bapak Rumah Tangga sementara istrinya, Wiwin Pratiwanggini, berkarir sebagai karyawan kantoran.
Tugas rumah tangga yang umumnya dilakukan para istri dengan enteng dilakukan Ahmat, begitu ia disapa. Bahkan istrinya memuji soal kemampuan memasak sang suami. Pekerjaannya adalah mengantar istri, menemani anak belajar, membersihkan rumah, memasak, dan terkadang mencuci baju. Ahmat dan Wiwin sendiri menjelaskan secara gamblang alasan keputusan mereka. Wiwin bercerita, sejak sebelum menikah ia telah memiliki gaji yang lumayan besar untuk standar hidup di Yogya. Suaminya memang tidak mempunyai pekerjaan tetap. "Wis, pokokeapa saja yang bisa jadi duit dijalani, asalkan halal. Maka dari itu, walaupun tidak diputuskan secara "resmi" hehe he ya, akhirnya saya terus bekerja hingga kini," terang Wiwin.
"Saya memilih untuk melakukannya dengan satu niatan: demi tercapainya keharmonisan berumah tangga," tandas Ahmat. Ia meminggirkan ego gender untuk sesuatu yang lebih bernilai luhur.
Menurut Ahmat, keharmonisan rumah tangga diraih dengan kemauan dan keterbukaaan antara suami istri. Dengan begitu, masing-masing dapat meminimalkan atau menutupi kekurangan pada pasangannya. "Intinya,stay at home dadadalah sebuah jalan atau cara dari sekian banyak cara tepat untuk membangun 'istana rumah tangga yang harmonis'," rangkum Ahmat.
Wiwin sendiri mengakui tergantung dengan suaminya. Dia tidak bisa bepergian sendirian. Selain itu, "Saya lebih mantap bila suami yang menjaga anak kami, sehingga suami tidak keberatanstay at homeasalkan kehidupan kami bisa berjalan dengan baik," timpal Wiwin.
Memusatkan perhatian pada anak
Keputusan menjadi SAHD umumnya didasarkan atas pertimbangan rasional suami-istri. Dr. Robert Frank, asisten profesor psikologi di Oakton Community College, Chicago, yang juga pernah menjadi bapak rumah tangga dan pernah melakukan penelitian tentang hal ini menyatakan demikian. Kebanyakan pria melakukannya bukan karena di-PHK atau “kalah bersaing” di dunia kerja. Hanya 25% yang melakukannya karena hal tersebut, sedangkan sisanyasecara sadar menginginkan peran ini.
Sejumlah ahlimelihat setidaknya ada dua kondisi yang menjadi alasan. Kondisi pertama, istri terbukti mampu berkarier lebih tinggi dan menghasilkan lebih banyak uang.Kondisi kedua, pasangan-pasangan tersebut tidak menginginkan orang lain untuk mengasuh anak mereka. Kebanyakan keluarga menengah di AS tidak memiliki asisten rumah tangga (ART). Selain karena tingginya gaji pengasuh anak dan ART, mereka terbiasa mengerjakan segala sesuatunya secara mandiri.
Kemunculan SAHD di Indonesia juga diduga karena faktor-faktor yang sama. Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., psikolog anak dan keluarga, melihat hal tersebut. Dulu, suami memang menjadi satu-satunya pencari nafkah (breadwinner), tapi kini situasinya berubah. Adanya kesempatan bekerja dan kesempatan terdidik lebih luas bagi perempuan membuat istri mampu berperan setara dengan suaminya. Bahkan, istri mungkin dapat menghasilkan lebih banyak uang bagi keluarga. Jadi, "Tidak ganjil bila lelaki itu bekerja di rumah," cetus perempuan yang akrab disapa Nina ini.
Tetapi, benarkah lelaki bisa telaten mengurus anak? Sebuah penelitian antropologi terbaru di Universitas Northwestern, AS, yang diterbitkan secara daring dalamProceedings of the National Academy of Sciences, menyatakan bahwa tingkat testosteron para ayah lebih rendah dari laki-laki yang tidak menjadi ayah. Temuan ini hasil penelitian jangka panjang pakar antropologi biologis universitas tersebut, Christopher Kuzawa, terhadap sekelompok laki-laki di Filipina dari 2005- 2009. Dalam jangka waktu itu, sebagian laki-laki menjadi ayah, dan lainnya tidak.
"Laki-laki yang menjadi ayah mengalami penurunan tingkat testosteron terbesar," ungkap Kuzawa. Fakta ini, menurutnya, menjelaskan ayah mampu lebih memusatkan perhatian dalam pengasuhan anak.
Namun, tantangan terberat bagi para bapak rumah tangga sebenarnya bukan soal itu. Nina menilai tantangan terbesar bagi bapak rumah tangga adalah mengatasi ego kelelakiannya, terutama mereka yang hidup di tengah masyarakat dengan kultur patriarki kuat, seperti di Indonesia. Menurutnya, kesiapan suami menjadi bapak rumah tangga tergantung dari nilai maskulinitas yang dia anut. Lelaki yang memegang kuat nilai maskulinitas tradisional (yang memosisikan ayah sebagai penanggung keluarga, harus bekerja, harus diladeni istri dan anak-anak, serta tak perlu mengurus rumah) akan tersiksa menjadi bapak rumah tangga. Umumnya lelaki Indonesia seperti ini. "Gajinya lebih kecil sedikit dari istrinya saja sudah tersiksa," kata Nina.
Namun, banyak juga ayah di kota besar yang berpendidikan tinggi dengan pergaulan terbuka bersedia berperan lebih besar dalam pengasuhan anak. Ini adalah nilai-nilai maskulinitas yang modern. "Kalau dia menganut maskulinitas modern, dia tidak akan menganggap ini sesuatu yang nista, tetapi sesuatu yang sama berharganya dengan ibu rumah tangga," jelas Nina.
Berdasarkan penelitian Nina hingga 2011, para ayah di kelas menengah Jabodetabek memandang keterlibatan mereka dalam pengasuhan anak lebih penting ketimbang nilai maskulinitas yang mereka anut. Hal ini akan membuat mereka lebih siap menjadi bapak rumah tangga.
Toh, Nina tetap menekankan bahwa keputusan menjadi bapak rumah tangga harus lahir dari keputusan bersama suami-istri, bukan dari suami saja. Dengan begitu, istri dapat memberi dukungan penuh kepada suaminya. Ini akan membuat lelaki lebih bahagia menjalani peran barunya, terutama dalam menghadapi pandangan maskulinitas dari keluarga besar dan masyarakat sekitarnya. Dalam ceritanya, Ahmat memang menyampaikan ada saja orang yang memandangnya hina. "Tetapi jumlah mereka sangat sedikit, jadi buat apa dipikirkan," kata Ahmat enteng. Ia memandang hal tersebut sebagai irama hidup belaka. Ia tidak terlalu memedulikan apa kata orang. "Toh, hidup kami adalah kami yang menjalani. Kami yang menentukan mau ke mana dan bagaimana," Wiwin mendukung.
Tetapi, jujur Ahmat pun merasakan tekanan sosial itu berat. Pertanyaan seperti "Kerja di mana, Pak?" termasuk salah satu tantangan yang harus dihadapinya. Ahmat memilih menjawabnya dengan lugas, "Kerja di rumah," sambil tersenyum manis.
"Yang begitu itu sangat susah . Jika tidak percaya, silakan Anda mencobanya," tantang Ahmat. Wiwin sepakat bahwa suami istri memang harus saling melengkapi. Tidak masalah istri atau suami yang menjadi pencari nafkah tetap. Tidak masalah siapa yang mengurusi rumah tangga dan anak. Yang penting, mereka memahami kenapa peran terbalik ini harus terjadi. Dengan demikian mereka dapat menjalani perannya masing-masing dengan penuh tanggung jawab, tanpa terbebani omongan orang.
Anak lebih seimbang emosinya
"Stay-at-home fatheritu bukan sesuatu yang salah," tegas Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., psikolog anak dan keluarga. Perempuan yang akrab disapa Nina ini justru mengatakan bahwa akan baik untuk pengasuhan anak bila salah satu dari orangtua dapat tinggal di rumah. Orangtua adalah guru dan pengasuh terbaik untuk anak.
Berikut beberapa hal positif yang dapat diperoleh keluarga bila suami menjadi bapak rumah tangga.
Langkah Jeremy tersebut tepat, karena berdasarkan banyak penelitian para suami biasanya lebih gengsi mendapatkan contoh dari istri dan keluarganya. Dia lebih suka mendapat contoh dari sesama laki-laki. Itu sebabnya Anna Surti Ariani menilai keberadaan perkumpulan atau media komunikasi untuk SAHD penting.
"Semua orang sebetulnya butuh teman. Dia harus tahu bahwa ada orang yang sama pengalamannya, kesulitannya, penderitaannya," kata Nina. Sebagai sesama stay-at-home fathermereka bisa saling mendukung dan berbagi solusi atas permasalahan yang terjadi.
Jadi, sudah mantap berpindah peran? (Intisari, Desember 2011)