Penulis
Intisari-Online.com - Pada 2010 time.com memuat hasil riset mengenai anak tunggal oleh Guttmacher Institute, sebuah organisasi yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi di Amerika. Dari perempuan yang telah disurvei, 64%-nya menyatakan bahwa kondisi ekonomi yang sedang resesi saat itu membuat mereka tidak bisa mengupayakan punya anak. Sementara 44% menyatakan berencana untuk mengurangi atau menunda punya anak, lagi-lagi karena alasan ekonomi. Seolah, orangtua kehilangan hasratnya untuk punya anak lagi.
Saat masa-masa resesi, harga kebutuhan memang merangkak naik. Dari makanan hingga pendidikan. Kondisi ini mau tidak mau atau bahkan menimbulkan kesadaran para orangtua untuk hanya memiliki satu anak alias anak tunggal. Alasannya, ingin memberi kasih sayang yang melimpah, juga kebutuhan yang tetap terjaga bagi anak.
Namun sebenarnya bila kita tengok ke belakang, sejarah munculnya penerapan anak tunggal itu berhulu dari Cina. Tujuannya untuk menahan laju pertumbuhan penduduknya. Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Ignatia Aditya, M.Psi., psikolog dari Prasetiya Mulya Business School, kita masih sering terlena dengan konsep tradisional bahwa “banyak anak, banyak rezeki”. Konsep itu menjadi benar di saat laju pertumbuhan industri tidak pesat. Dalam konsep agraris, tentu dibutuhkan tenaga manusia yang cukup untuk mengelolanya.
Karena ekonomi dan kesehatan
Masa resesi di Amerika nyatanya bisa membuat para orangtua secara sengaja memilih untuk punya anak tunggal. Dengan anak tunggal diharapkan biaya hidup tidak akan melembung. Ya, secara rata-rata, membesarkan satu anak tentu akan lebih terjamin secara finansial ketimbang banyak anak.
Menurut Adit, alasan paling besar yang membuat orangtua lebih memilih punya anak tunggal secara terencana memanglah ekonomi. Ambil contoh, biaya pendidikan yang saat ini sudah sangat mahal. Bayangkan bila orangtua punya anak lebih dari satu. Pasti mereka perlu mengalokasikan lebih banyak uang lagi untuk anak-anaknya. “Sekarang saja orangtua sudah pusing dengan biaya pendidikan untuk satu anak, yang inflasinya bisa 20% setiap tahun,” imbuh Adit.
Selain ekonomi ada faktor lain yang cukup signifikan, yakni kesehatan. Seakan menjadi tren, usia menikah seseorang kini cenderung lebih tua dibandingkan dengan dulu. Usia menikah seperti itu menyebabkan usia melahirkan pertama juga lebih tua. Padahal, menurut Adit, melahirkan di usia 30 tahun ke atas bisa jadi meningkatkan risiko keguguran atau susah dalam proses melahirkan.
Maka timbul keraguan bagi orangtua yang menikah di usia tua, apakah masih kuat untuk melahirkan anak berikutnya? Baik dari segi kesehatan juga ekonomi. Ketika ibu melahirkan anak di usia yang hampir 40 tahun misalnya, akan ada pertimbangan ekonomi. Anak bisa saja masih sekolah saat orangtuanya sudah pensiun. Otomatis orangtua tidak punya lagi penghasilan untuk memenuhi kebutuhan anak dengan baik.
Sebetulnyaa masih banyak faktor pendukung orangtua yang memilih hanya punya satu anak. Contohnya, karier. Namun diakui Adit, faktor lainnya itu tidaklah signifikan. Selain itu, ada pula yang memang hanya dikaruniai satu anak oleh Tuhan. Dalam hal ini, anak tunggal tidaklah direncanakan. Di Indonesia, menurut Adit, anak tunggal yang direncanakan memang baru terjadi pada segelintir orang di kota besar, Jakarta misalnya. Kebanyakan orangtua yang yakin dengan hanya punya satu anak memang pada akhirnya visinya fokus ke anak tersebut.
Yang jelas, menurut Adit, pilihan untuk membesarkan anak tunggal tidak lebih jelek dibandingkan dengan membesarkan banyak anak. Apakah itu akan membuahkan keuntungan? “Belum tentu juga, karena masih banyak faktornya. Tapi ada harapan ini akan lebih menentramkan orangtua dalam membesarkan anak.”