Penulis
Intisari-Online.com - Aku mencurigai kehidupan seksku tak senormal seharusnya. Kecurigaan itu berawal saat pasanganku bertanya di pagi hari, "Jadi, engkau tak ingat apa yang terjadi semalam?" Aku mencoba mengingatnya, tapi tak bisa. Seingatku aku merasa lelap tertidur. Pasanganku menceritakan sesuatu yang mengejutkan. Ia mengatakan bahwa aku berusaha mengajaknya bercinta dalam kondisi tidur pulas! Bagaimana mungkin?
Terkejut mengetahui bahwa aku bisa begitu tak terkendali saat tertidur pulas. Aku berpikir apa lagi yang sudah aku lakukan? Jangan-jangan, aku kerap berjalan dalam tidur atau menggigau kacau.
Lambat laun aku menyadari, kelakuanku itu tak kunjung berhenti. Delapan tahun sudah aku dan pasanganku mengalami kondisi ini. Terkadang, saat bercinta, aku bisa menjadi sangat romantis. Dengan lembut aku melakukan foreplaymanis. Namun di lain waktu, aku bisa secara agresif memaksa masuk ke intercourse.
Untungnya kelakuanku tak pernah terlalu liar. Memang, pasanganku kerap menolak kelakuan yang tak kusadari ini. Kadang ia memukul, mendorong tubuhku untuk membuatku bangun. Namun akhir-akhir ini ia mulai menerapkan strategi untuk mengatasi kelakuanku itu. Bila aku mulai memaksanya bercinta sambil tidur, ia langsung berteriak sambil mendorong. Untungnya – tanpa sadar – aku langsung melepaskannya dan kembali tidur.
Pagi harinya, aku tak mengingat apa pun tentang kejadian malam tadi. Satu-satunya yang aku lihat hanyalah wajah kecewa dari pasanganku, dan saat itu pula aku sadar bahwa kejadian yang sama terulang kembali.
Pada awalnya, ia mengira bahwa aku terbangun. Bila pasanganku sedang bergairah, maka dengan senang hati ia akan melayani permintaanku bercinta. Namun lambat laun ia menyadari bahwa aku tak berekspresi sewajarnya saat bercinta. Dengan kata lain ia kerap merasa bercinta dengan zombie!
Aku tahu bahwa kondisiku tak normal. Namun aku tak menyadari, ada istilah untuk kondisiku ini. Seksomnia atau seks saat tertidur. Seksomnia merupakan satu turunan dari parasomnia, yang terdiri dari berjalan sambil tidur dan menggigau. Sama seperti parasomnia lainnya, seksomnia juga terjadi pada tahap tidur dalam. Ahli saraf mengatakan perilaku itu muncul karena gaya hidup yang penuh dengan stres. Teori itu sejalan dengan pengalamanku. Sebagai seorang pemain rugby profesional aku harus berlatih keras dalam tekanan yang berat, terutama saat pertandingan sangat padat-padatnya. Dan seksomnia jarang sekali muncul bila kegiatanku tak terlalu padat.
Pemicu lainnya adalah ketika aku harus menahan aktivitas seksual akibat kehadiran buah hati. Dokter menemukan, sebagai seorang atlet, tingkat hormon testosteronku tergolong tinggi. Jadi aku percaya itu berhubungan.
Aku tak keberatan berbagi hal ini dengan kawan-kawan dekatku. Beruntung tak ada yang mengejek kondisiku ini. Lebih beruntung lagi, aku memiliki pasangan yang bisa mengerti kondisiku ini. Kami berusaha untuk membicarakan dan mendiskusikan kondisiku terus menerus. Hasilnya, kehidupan seks kami baik-baik saja. (*)