Penulis
Intisari-Online.com -Saat Gunung Sinabung meletus, banyak sekali relawan yang segera datang membantu para korban. Meski aksinya positif, tidak sedikit yang menganggap mereka hanya cari muka. Benarkah?
Menurut penelitian mengenai jiwa kerelawanan yang dilakukan oleh Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, ketika ditanya alasan menjadi relawan, 90% relawan menjawab karena dirinya ingin menolong orang lain.
Wahyu Cahyono M.Si, Wakil Ketua dari lembaga yang melakukan penelitian tersebut, menekankan bahwa jawaban “normatif” tersebut muncul ketika relawan pertama kali ditanya tentang alasan mereka menjadi relawan.
Namun, saat mereka ditanya lebih dalam, maka kalimat yang muncul adalah “Saya menjadi relawan karena saya merasa kegiatan tersebut merupakan sebuah jalan untuk membangun jaringan sosial” atau bahkan “Saya merasa bahwa penting untuk mendapat pengakuan bagi kegiatan kerelawanan yang saya lakukan.”
Untuk itu, anggapan bahwa para sukarelawan atau pekerja sosial cenderung hanya untuk keuntungan pribadi, bukan murni atas dorongan untuk membantu orang lain, dianggap wajar oleh Ahyudin, Presiden sekaligus pendiri Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Menurutnya ada beberapa pihak yang menjadikan kegiatan sosial sebagai ajang untuk “pamer kebajikan, mempertontonkan jiwa kepeduliannya.” Baik atas nama individu, lembaga sosial, perusahaan ataupun partai politik.
“Yang pasti sih (untuk alasan), ini semua urusan hati, kalau ada yang bilang mau pamer, itu hak mereka,” ucap Leonardo Kamilius yang mendirikan Koperasi Kasih Indonesia (KKI). Secara pribadi Leon, sapaan Leonardo, memilih menjadi wirausahawan sosial setelah dirinya membaca buku karya Mohammad Yunus.