Anak dan Korupsi (2): Kedok Menyesatkan

Ade Sulaeman

Penulis

Anak dan Korupsi (2): Kedok Menyesatkan

Berikut ini bagian kedua dari artikel berjudul “Menyemai Nilai Anti Korupsi di Usia Dini” yang diterbitkan di Majalah Intisari edisi Mei 2004.

--

Intisari-Online.com - Makanya sejak awal mereka harus diajak memahami bahasa korupsi itu sendiri, lewat proses keseharian yang dekat dengan aktivitas mereka.

Koruptor, menurut pandangan awam, adalah para pejabat negara yang mengambil uang bukan haknya.

Dalam bahasa Indonesia, korup berarti menerima uang sogok/suap; mengambil (uang) dan mempergunakannya untuk kepentingan pribadi yang bukan hak dan miliknya. Sedangkan koruptor berarti orang yang korup.

Siapa pun bisa disebut koruptor bila menerima, mengambil, mempergunakan (bukan hanya uang) untuk kepentingan pribadi yang bukan haknya.

Batasan inilah yang harus ditanamkan pada anak sejak kecil, agar kelak mereka tidak menjadi koruptor-koruptor baru.

Ketika ada siswa yang menyontek saat ulangan, jangan cuma si penyontek yang mendapat teguran. Yang dicontek juga harus diberi pengertian, bahwa memberi kesempatan orang lain meniru pekerjaannya bukanlah ide yang baik.

"Bahasa" yang jelas membuat mereka memahami, korupsi dan memberi kesempatan orang untuk korupsi - seperti juga kasus contek-menyontek - sama tidak bergunanya.

Repotnya, bahasa orang dewasa kadang membingungkan, seperti kenaikan harga kerap diganti dengan "penyesuaian".

Kalau ingin anak-anak menyimpan sifat antikorupsi sejak dini, kata korupsi dan koruptor mestinya tidak diberi kedok menyesatkan.

Proses pembelajaran untuk memahami korupsi dalam konteks sehari-hari sangat penting, karena dewasa ini korupsi ada di mana-mana.

Di kelurahan misalnya, dalam pembuatan KTP, Kartu Keluarga, serta pengurusan surat-surat izin lainnya, sudah bukan rahasia lagi diwarnai adegan pungli dan korupsi.

Begitu juga dengan para pedagang kakilima yang menggelar dagangannya di tempat-tempat terlarang. Mereka bisa begitu karena membayar kepada oknum aparat pemerintah.

Warga masyarakat pun ikut-ikutan latah berkorupsi dengan membuat garasi, warung di gang-gang milik umum, di jalur hijau yang seharusnya disisakan untuk paru-paru kota atau di pinggiran kali.

Bahkan tukang parkir pinggir jalan dengan enaknya mengutip uang parkir di infrastruktur yang dibuat pemerintah, bukan kakek atau buyutnya. (Dra. Hj. Nurlaila N.Q. dan Mei Tientje, M.Pd., Anggota Forum PADU Pusat, Diknas, di Jakarta / Intisari edisi Mei 2004)