Find Us On Social Media :

Anak dan Korupsi (3): Matematika Tak Sekadar Angka dan Simbol

By Ade Sulaeman, Kamis, 17 Oktober 2013 | 06:00 WIB

Anak dan Korupsi (3): Matematika Tak Sekadar Angka dan Simbol

Berikut ini bagian ketiga dari artikel berjudul “Menyemai Nilai Anti Korupsi di Usia Dini” yang diterbitkan di Majalah Intisari edisi Mei 2004.

--

Intisari-Online.com - Di lingkungan perusahaan listrik negara, siang dan malam listrik milik PLN kerap dicuri oleh para pengguna gelap, seperti pedagang, bengkel kecil, atau pesta rumahan yang membutuhkan peralatan sound system ribuan watt untuk menyemarakkan suasana.

Para pengguna listrik di rumah-rumah yang membayar rutin ke PLN terpaksa harus berlapang dada, menerima aliran listrik dengan tekanan berkurang, sehingga cahaya lampu tidak optimal.

Dari sana si anak belajar, demi menghemat biaya pesta bapaknya, nyolong listrik negara ternyata sah-sah saja.

Bahkan di dunia pendidikan, sudah bukan rahasia lagi soal gaji guru yang dikorupsi, terlambat atau nyogok pejabat di atasnya agar bisa naik pangkat.

Pendek kata, korupsi ada di mana-mana.

Orangtua tidak cukup hanya mempercayakan anaknya bersekolah di sekolah-sekolah mahal (plus berbagai ekstra kurikuler pendukung).

Jika hanya sasaran akademis yang dituju, tanpa sadar, mereka tidak memaksimalkan fungsi otak anak.

Sebab, dengan bantuan lima panca inderanya, anak sebenamya berpikir jauh lebih banyak dari yang diketahui orangtua dan gurunya. Diam-diam, mereka belajar mehami nilai-nilai lewat konsep dan keteladanan orang-orang di sekitarnya.

Dalam mengajarkan matematika, misalnya, nilai-nilai antikorupsi bisa diselipkan. Anak sebaiknya diberi pemahaman bahwa matematika bukan hanya urusan menjumlah atau mengurang.

Jadi, sejak awal dia sudah menyadari bahwa materi itu tidak hanya bisa berkurang atau bertambah, seperti tabungannya di bank.

Dari angka 1.000, misalnya, bisa dilakukan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Banyak hal bisa dilakukan dengan 1.000, bukannya banyak cara untuk mendapatkan 1.000.

Dengan membiasakan anak berpikir seperti itu, serta membebaskannya mengembangkan kreativitas sendiri.

Mereka akan mengenal matematika tidak hanya sebagai simbol atau angka belaka. Tapi juga menggali apa yang bisa mereka lakukan dengan angka- angka itu.

Angka atau harta 1.000 akan menjadi berkah, jika misalnya dibagi-bagi pada 10 orang tak berpunya. Pada akhirnya, pemahaman itu diharapkan memancing timbulnya ide-ide positif. Dra. Hj. Nurlaila N.Q. dan Mei Tientje, M.Pd., Anggota Forum PADU Pusat, Diknas, di Jakarta / Intisari edisi Mei 2004)